Saturday, 23 November 2013

ANTROPOLOGI PENDIDIKAN


Antropologi Pendidikan
PENDAHULUAN
Antrpologi pendidikan mulai menampilkan dirinya sebagai disiplin ilmu pada pertengahan abad-20. Pada waktu itu banyak pertanyaan yang diajukan kepada tokoh pendidikan tentang sejauhmana pendidikan dapat mengubah suatu masyarakat. Sebagaimana diketahui pada waktu itu negara maju tengah mengibarkan program besarnya, yakni menciptakan pembangunan di negara-negara yang baru merdeka. Antropologipendidikan berupaya menemukan pola budaya belajar masyarakat yang dapat menciptakan perubahan sosial. Demikian juga mengenai perwujudan kebudayaan para pengambil kebijakan pendidikan yang berorientasi pada perubahan sosial budaya mendapat perhatian. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas hubungan antara antropologi dan pendidikan.
PEMBAHASAN
KAITAN ANTARA ANTROPOLOGI DENGAN PENDIDIKAN
Makna Antropologi
Antropologi adalah kajian tentang manusia dan cara-cara hidup manusia. Antropologi mempunyai dua cabang utama, yaitu antropologi yang mengkaji evolusi fisik manusia dan adaptasinya terhadap lingkungan yang berbeda-beda dan antropologi budaya yang mengkaji baik kebudayaan-kebudayaan yang masih ada maupun kebudayaan yang sudah punah. Antropologi budaya mencakup antropologi bahasa yang mengkaji bentuk-bentuk bahasa, arkeologi yang mengkaji kebudayaan-kebudayan yang sudah punah, ekologi yang mengkaji kebudayaan yang masih ada atau kebudayaan yang hidup yang masih dapat diamati secara langsung. Jadi antropolgi adalah kajian yang mendalam tentang kebudayaan-kebudayaan tertentu.
Awalnya antropologi dikenal sebagai konsep kebudayaan yang merupakan satu totalitas (Ruth). Sementara itu, Boas mempertimbangkan aspek-aspek tertentu dari kebudayaan yang berbeda, yaitu kebudayaan berfungsi sebagai satu keseluruhan dalam pola-pola tertentu. Ada banyak pertentangan lain tentang antropologi, namun semenjak itu inovasi utama yang terjadi adalah kajian tentang kebudayaan dan kepribadian yaitu tentang proses bagaimana sebuah kebudayaan diinternalisasikan dan dirubah oleh individu. Jadi antropologi mengkaji aspek-aspek tertentu dari kebudayaan. Jika sarana sosial lain membicarakan rentangan tertentu, maka sarjana antropologi mengkaji keseluruhan sejarah umat manusia sebagai bidang kajiannya. Dengan mempelajari antropologi, kita bisa menyadari keragaman budaya umat manusia dan pengaruh dalam pendidikan.
Makna Kebudayaan
Kebudayaan berarti semua cara hidup yang telah diperkembangkan oleh anggota-anggota suatu masyarakat. Dengan kebudayaan tertentu dimaksudkan totalitas cara hidup yang dihayati oleh suatu masyarakat tertentu yang terdiri dari cara berpikir, cara bertindak, dan cara merasa yang dimanifestasikan seperti agama, hukum, bahasa, seni dan kebiasaan-kebiasaan. Kebudayaan yang paling sederhana mencakup cara tidur, cara makan atau pun cara berpakaian. Untuk membedakan antara kebudayaan dan masyarakat adalah bahwa masyarakat adalah suatu penduduk local yang bekerja sama dalam jangka waktu yang lama untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan kebudayaan adalah cara hidup dari masyarakat tersebut, atau hal-hal yang mereka pikirkan, rasakan, dan kerjakan.
Makna kebudayaan, secara sederhana berarti semua cara hidup (ways of life) yang telah dikembangkan oleh anggota masyarakat. Dari prespektif lain kita bisa memandang suatu kebudayaan sebagai perilaku yang dipelajari dan dialami bersama (pikiran, tindakan, perasaan) dari suatu masyarakat tertentu termasuk artefak-artefaknya, dipelajari dalam arti bahwa perilaku tersebut disampaikan (transmitted) secara sosial, bukan diwariskan secara genetis dan dialami bersama dalam arti dipraktekkan baik oleh seluruh anggota masyarakat atau beberapa kelompok dalam suatu masyarakat.
Isi Kebudayaan
Pada dasarnya gejala kebudayaan dapat diklasifikasikan sebagai kegiatan/aktivitas, gagasan/ide dan artefak yang diperoleh, dipelajari dan dialami. Kebudayaan dapat diklasifikasikan atas terknologi sebagai alat-alat yang digunakan, organisasi sosial sebagai kegiatan institusi kebudayaan dan ideologi yang menjadi pengetahuan atas kebudayaan tersebut. Menurut R. Linton, kebudayaan dapat diklasifikasikan atas:
1.      Universals: pemikiran-pemikiran, perbuatan, perasaan dan artefak yang dikenal bagi semua orang dewasa dalam suatu masyarakat. Ex, bahasa, hubungan kekerabatan, pakaian dan kepercayaan.
2.      Specialisties: gejala yang dihayati hanya oleh anggota kelompok sosial tertentu. Ex, kelompok golongan profesi.
3.      Alternatives: gejala yang dihayati oleh sejumlah individu tertentu seperti pendeta, ulama, pelukis dan filosof.
Kebudayaan merupakan gabungan dari keseluruhan kesatuan yang ada dan tersusun secara unik sehingga dapat dipahami dan mengingat masyarakat pembentuknya. Setiap kebudayaan memiliki konfigurasi yang cocok dengan sikap-sikap dan kepercayaan dasar dari masyarakat, sehingga pada akhirnya membentuk sistem yang interdependen, dimana koherensinya lebih dapat dirasakan daripada dipikirkan pembentuknya. Kebudayaan dapat bersifat sistematis sehingga dapat menjadi selektif, menciptakan dan menyesuaikan menurut dasar-dasar dari konfigurasi tertentu. Kebudayaan akan lancar dan berkembang apabila terciptanya suatu integrasi yang saling berhubungan.
Dalam kebudayaan terdapat subsistem yang paling penting yaitu foci yang menjadi kumpulan pola perilaku yang menyerap banyak waktu dan tenaga. Apabila suatu kebudayaan makin terintegrasi maka fokus tersebut akan makin berkuasa terhadap pola perilaku dan makin berhubungan fokus tersebut satu dengan yang lainnya dan begitu pula sebaliknya. Kebudayaan akan rusak dan bahkan bisa hancur apabila perubahan yang terjadi terlalu dipaksakan, sehingga tidak sesuai dengan keadaan masyarakat tempat kebudayaan tersebut berkembang. Perubahan tersebut didorong oleh adanya tingkat integrasi yang tinggi dalam kebudayaan. Apabila tidak terintegrasi maka kebudayaan tersebut akan mudah menyerap serangkaian inovasi sehingga dapat menghancurkan kebudayaan itu sendiri.
Sifat Kebudayaan
Kebudayaan yang berkembang pada masyarakat memiliki sifat seperti:
1.      Bersifat organik dan superorganik karena berakar pada organ manusia dan juga karena kebudayaan terus hidup melampaui generasi tertentu.
2.      Bersifat terlihat (overt) dan tersembunyi (covert) terlihat dalam tindakan dan benda, serta bersifat tersembunyi dalam aspek yang mesti diintegrasikan oleh tiap anggotanya.
3.      Bersifat eksplisit dan implisit berupa tindakan yang tergambar langsung oleh orang yang melaksanakannya dan hal-hal yang dianggap telah diketahui dan hal-hal tersebut tidak dapat diterangkan.
4.      Bersifat ideal dan manifest berupa tindakan yang harus dilakukannya serta tindakan-tindakan yang aktual.
5.      Bersifat stabil dan berubah yang diukur melalui elemen-elemen yang relatif stabil dan stabilitas terhadap elemen budaya.
 Antropologi dan Pendidikan
Pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses pembelajaran, pemberian pengetahuan, keterampilan dan sikap melalui pikiran, karakter serta kapasitas fisik dengan menggunakan pranata-pranata agar tujuan yang ingin dicapai dapat dipenuhi. Pendidikan dapat diperoleh melalui lembaga formal dan informal. Penyampaian kebudayaan melalui lembaga informal tersebut dilakukan melalui enkulturasi semenjak kecil di dalam lingkungan keluarganya. Dalam masyarakat yang sangat kompleks, terspesialisasi dan berubah cepat, pendidikan memiliki fungsi yang sangat besar dalam memahami kebudayaan sebagai satu keseluruhan.
Dengan makin cepatnya perubahan kebudayaan, maka makin banyak diperlukan waktu untuk memahami kebudayaannya sendiri. Hal ini membuat kebudayaan di masa depan tidak dapat diramalkan secara pasti, sehingga dalam mempelajari kebudayaan baru diperlukan metode baru untuk mempelajarinya. Dalam hal ini pendidik dan antropolog harus saling bekerja sama, dimana keduanya sama-sama memiliki peran yang penting dan saling berhubungan. Pendidikan bersifat konservatif yang bertujuan mengekalkan hasil-hasil prestasi kebudayaan, yang dilakukan oleh pemuda-pemudi sehinga dapat menyesuaikan diri pada kejadian-kejadian yang dapat diantisipasikan di dalam dan di luar kebudayaan serta merintis jalan untuk melakukan perubahan terhadap kebudayaan.
G.D. Spindler berpendirian bahwa kontribusi utama yang bisa diberikan antropologi terhadap pendidikan adalah menghimpun sejumlah pengetahuan empiris yang sudah diverifikasikan dengan menganalisa aspek-aspek proses pendidikan yang berbeda-beda dalam lingkungan sosial budayanya. Teori khusus dan percobaan yang terpisah tidak akan menghasilkan disiplin antropologi pendidikan. Pada dasarnya, antropologi pendidikan mestilah merupakan sebuah kajian sistematik, tidak hanya mengenai praktek pendidikan dalam prespektif budaya, tetapi juga tentang asumsi yang dipakai antropolog terhadap pendidikan dan asumsi yang dicerminkan oleh praktek-praktek pendidikan.
Dengan mempelajari metode pendidikan kebudayaan maka antropologi bermanfaat bagi pendidikan. Dimana para pendidik harus melakkan secara hati-hati. Hal ini disebabkan karena kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat bersifat unik, sukar untuk dibandingkan sehingga harus ada perbandingan baru yang bersifat tentatif. Setiap penyeldikan yang dilakukan oleh para ilmuwan akan memberikan sumbangan yang berharga dan mempengaruhi pendidikan.
Antropologi pendidikan dihasilkan melalui teori khusus dan percobaan yang terpisah dengan kajian yang sistematis mengenai praktek pendidikan dalam prespektif budaya, sehingga antropolog menyimpulkan bahwa sekolah merupakan sebuah benda budaya yang menjadi skema nilai-nilai dalam membimbing masyarakat. Namun ada kalanya sejumlah metode mengajar kurang efektif dari media pendidikan sehingga sangat berlawanan dengan data yang didapat di lapangan oleh para antropolog. Tugas para pendidik bukan hanya mengeksploitasi nilai kebudayaan namun menatanya dan menghubungkannya dengan pemikiran dan praktek pendidikan sebagai satu keseluruhan.
Antropologi pendidikan mulai menampakkan dirinya sebagai disiplin ilmu pada pertengahan abab ke-20. Sejak saat itu, antropologi pendidikan berupaya menemukan pola budaya belajar masyarakat (pedesaan dan perkotaan) yang dapat merubah perubahan social. Demikian juga mengenai perwujudan kebudayaan para ahli mengambil kebijakan pendidikan yang berorientasi pada perubahan sosial budaya mendapat perhatian. Konferensi pendidikan antropologi yang berorientasi pada perubahan sosial di Negara-negara baru khususnya melalui pendidikan persekolahan mulai digelar. Hasil-hasil  kajian pendidikan di persekolahan melalui antropologi diterbitkan pada tahun 1954 dibawah redaksi G.D. Spindler (1963).
Konferensi memberi rekomendasi untuk melakukan serangkaian penelitian antropologi pendidikan di persekolahan, mengingat jalur perubahan social budaya salah satunya dapat dilakukan dengan melalui pendidikan formal. Banyak penelitian menunjukan bahwa system pendidikan di negara-negara baru diorientasikan untuk mengokohkan kelompok sosial yang tengah berkuasa.
Antropologi Pendidikan sebagai disiplin kini banyak di kembangkan oleh para ahli yang menyadari pentingnya kajian budaya pada suatu masyarakat. Antropologi di negara-negara maju memandang salah satu persoalan pembangunan di negara berkembang adalah karena masalah budaya belajar. Kajian budaya belajar kini menjadi perhatian yang semakin menarik, khususnya bagi para pemikir pendidikan diperguruan tinggi. Perhatian ini dilakukan dengan melihat kenyataan lemahnya mutu sumber daya manusia yang berakibat terhadap rentannya ketahanan social budaya masyarakat dalam menghadapi krisis kehidupan.
Orientasi pengembangan budaya belajar harus dilakukan secara menyeluruh yang menghubungkan pola budaya belajar yang ada di dalam lingkungan masyarakat dan lembaga pendidikan formal. Van Kemenade (1969) dalam Imran Manan telah mengingatkan: “persoalan pendidikan jangan hanya dianggap melulu persoalan pedagogis didaktis metodis dan tidak menjadi masalah kebikakan social, sehingga pendidikan tidak ada lagi menjadi kebutuhan bersama. Untuk itu perlu analisa empiris tentang tugas pendidikan  dalam konteks kehidupan masyarakat”.
Pendekatan dan teori antropologi pendidikan dapat dilihat dari dua kategori. Pertama, pendekatan teori antopologi pendidikan yang bersumber dari antropologi budaya yang ditujukan bagi perubahan social budaya. Kedua, pendekatan teori pendidikan yang bersumber dari filsafat.
Teori antropologi pendidikan yang diorientasikan pada perubahan social budaya dikategorikan menjadi empat orientasi:
1.      Orientasi teoritik yang focus perhatiannya kepada keseimbangan secara statis. Teori ini merupakan bagian dari teori-teori evolusi dan sejarah.
2.      Orientasi teori yang memandang adanya keseimbangan budaya secara dinamis. Teori ini yang menjadi penyempurna teori sebelumnya, yakni orientasi adaptasi dan tekno-ekonomi yang menjadi andalanya
3.      Orientasi teori yang melihat adanya pertentangan budaya yang statis, dimana sumber teori dating dari rumpun teori structural.
4.      Orientasi teori yang bermuatan pertentangan budaya yang bersifat global atas gejala interdependensi antar Negara, dimana teori multicultural termasuk didalamnya.

ANTROPOLOGI DAN PENDIDIKAN


ANTROPOLOGI DAN PENDIDIKAN

A.      Pengertian Antropologi
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang budaya  masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa.
Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti  sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Antropologi berasal dari kata Yunani άνθρωπος (baca: anthropos) yang berarti "manusia" atau "orang", dan logos yang berarti "wacana" (dalam pengertian "bernalar", "berakal"). Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.
Pengertian menurut beberapa ahli sebagai berikut
1.      David Hunter
Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia
2.      Koentjaraningrat 
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat  serta kebudayaan  yang dihasilkan
3.      William A. Havilland 
Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
Dari definisi-definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana Antropologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari tentang segala aspek dari manusia, yang terdiri dari aspek fisik dan nonfisik berupa warna kulit, bentuk rambut, bentuk mata, kebudayaan, aspek politik, dan berbagai pengetahuan tentang corak kehidupan lainnya yang bermanfaat.
Antropologi memiliki dua sisi holistik dimana meneliti manusia pada tiap waktu dan tiap dimensi kemanusiaannya. Arus utama inilah yang secara tradisional memisahkan Antropologi dari disiplin ilmu kemanusiaan lainnya yang menekankan pada perbandingan/perbedaan budaya antar manusia
Secara garis besar antropologi memiliki cabang-cabang ilmu yang terdiri dari:
a.       Antropologi Fisik
1.      Paleoantropologi adalah ilmu yang mempelajari asal usul manusia dan evolusi manusia dengan meneliti fosil-fosil.
2.      Somatologi adalah ilmu yang mempelajari keberagaman ras manusia dengan mengamati ciri-ciri fisik.
b.      Antropologi Sosial dan Budaya
1.      Prehistori adalah ilmu yang mempelajari sejarah penyebaran dan perkembangan semua kebudayaan manusia di bumi sebelum manusia mengenal tulisan.
2.      Etnolinguistik antropologi adalah ilmu yang mempelajari pelukisan tentang ciri dan tata bahasa dan beratus-ratus bahasa suku-suku bangsa yang ada di dunia / bumi.
3.      Etnologi adalah ilmu yang mempelajari asas kebudayaan manusia di dalam kehidupan masyarakat suku bangsa di seluruh dunia.
4.      Etnopsikologi adalah ilmu yang mempelajari kepribadian bangsa serta peranan individu pada bangsa dalam proses perubahan adat istiadat dan nilai universal dengan berpegang pada konsep psikologi.

Antropologi sebagai sebuah ilmu juga mengalami tahapan-tahapan dalam perkembangannya. Koentjaraninggrat menyusun perkembangan ilmu Antropologi menjadi empat fase sebagai berikut:

Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an)
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/3/31/Initiation_ritual_of_boys_in_Malawi.jpg/272px-Initiation_ritual_of_boys_in_Malawi.jpg
Manusia dan kebudayaannya, sebagai bahan kajian Antropologi. Sekitar abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari AfrikaAmerikaAsia, hingga keAustralia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnografi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa.
Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.

Fase Kedua (tahun 1800-an)

Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya
Pada fase ini, Antopologi bertujuan akademis, mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.

Fase Ketiga (awal abad ke-20)

Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya, pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.

Fase Keempat (setelah tahun 1930-an)
Pada fase ini, Antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa. Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung.

Namun pada saat itu juga, muncul semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun. Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.


B.       Pendekatan dalam Antropologi
Studi kebudayaan adalh sentral dalam antropologi. Bidang kajian utama antropologi adalah kebudayaan dan dipelajari melalui pendekatan. Berikut 3 macam pendekat utama yang biasa dipergunakan oleh para ilmuwan antropologi.
a.       Pendekatan holistic :
Kebudayaan dipandang secara utuh (holistik). Pendekatan ini digunakan oleh para pakar antropologi apabila mereka sedang mempelajari kebudayaan suatu masyarakat. Kebudayaan di pandang sebagai suatu keutuhan, setiap unsur di dalamnya mungkin dipahami dalam keadaan terpisah dari keutuhan tersebut. Para pakar antropologi mengumpulkan semua aspek, termasuk sejarah, geografi, ekonomi, teknologi, dan bahasa. Untuk memperoleh generalisasi (simpulan) tentang suatu kompleks kebudayaan seperti perkawinan dalam suatu masyarakat, para pakar antropologi merasa bahwa mereka harus memahami dengan baik semua lembaga (institusi) lain dalam masyarakat yang bersangkutan.
b.      Pendekatan komparatif :
Kebudayaan masyarakat pra-aksara. Pendekatan komparatif juga merupakan pendekatan yang unik dalam antropologi untuk mempelajari kebudayaan masyarakat yang belum mengenal baca-tulis (pra-aksara). Para ilmuwan antropologi paling sering mempelajari masyarakat pra-aksara karena 2 alasan utama. Pertama, mereka yakin bahwa setiap generalisasi dan teori harus diuji pada populasi-populasi di sebanyak mungkin daerah kebudayaan sebelum dapat diverifikasi. Kedua, mereka lebih mudah mempelajari keseluruhan kebudayaan masyarakat-masyarakat kecil yang relatif homogen dari pada masyarakat-masyarakat modern yang kompleks. Masyarakat-masyarakat pra-aksara yang hidup di daerah-daerah terpencil merupakan laboratorium bagi para ilmuwan antropologi.
c.       Pendekatan historic
Pengutamaan asal-usul unsur kebudayaan. Pendekatan dan unsur-unsur historik mempunyai arti yang sangat penting dalam antropologi, lebih penting dari pada ilmu lain dalam kelompok ilmu tingkah laku manusia. Para ilmuwan antropologi tertarik pertama-tama pada asal-usul historik dari unsur-unsur kebudayaan, dan setelah itu tertarik pada unsur-unsur kebudayaan yang unik dan khusus.
C.       Kebudayaan
Pengertian Kebudayaan banyak sekali dikemukakan oleh para ahli. Salah satunya dikemukakan oleh selo soemardjan dan soelaiman soemardi, yang merumuskan bahwa kebudayaan adalah semua hasil dari karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan, yang diperlukan manusia untuk mengusai alam skitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk kepentingan masyarakat.
Rasa yang meliputi jiwa manusia mewujudkan segala norma dan nilai masyarakat yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti luas, didalamnya termasuk, agama, ideology, kebatinan, kesenian, dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi dari jiwa manusia. Selanjutnya cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan fikir dari orang lain yang hidup bermasyarakat yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Rasa dan cipta dinamakan kebudayaan Rohaniah. Semua karya, rasa, dan cipta dikuasai oleh karsa dari orang-orang yang menentukan kegunaannya, agar sesuai dengan kepentingan sebagian besar, bahkan seluruh masyarakat.
Dari pengertian tersebut menunjukan bahwa kebudayaan itu merupakan keseluruhan dari pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial, yang digunakan untuk menginterpretasikan dan memahami lingkungan yang di hadapi, untuk memenuhi segala kebutuhannya serta mendorong terwujudnya kelakuan manusia itu sendiri. Atas dasar itulah para ahli mengemukakan unsur kebudayaan yang diperinci menjadi 7 unsur, yaitu:
a.       Unsur Religi
b.       Sistem kemasyarakatan
c.       Sistem peralatan
d.      Sistem mata pencaharian hidup
e.       Sistem Bahasa
f.       Sistem Pengetahuan
g.      Seni

D.      Antroplogi dan Pendidikan
Salah satu konsep yang  kaji dalam tersebut yaitu hakikat manusia sebagai individu. Sebagaimana telah pelajari bahwa individu adalah manusia perseorangan yang memiliki karakteristik sebagai kesatuan yang tak dapat dibagi, memiliki perbedaan dengan yang lainnya sehingga bersifat unik, serta bebas mengambil keputusan atau tindakan atas pilihan dan tanggung jawabnya sendiri (otonom). Masyarakat didefinisikan oleh Ralph Linton sebagai "setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas". Sejalan dengan definsi dari Ralph Linton, Selo Sumardjan mendefinisikan masyarakat sebagai “orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan” (Soerjono Soekanto, 1986). Mengacu kepada dua definisi tentang masyarakat seperti dikemukakan di atas, Anda dapat mengidentifikasi empat unsur yang mesti terdapat di dalam masyarakat, yaitu:
a.       Manusia (individu-individu) yang hidup bersama,
b.      Mereka melakukan interaksi sosial dalam waktu yang cukup lama.
c.       Mereka mempunyai kesadaran sebagai satu kesatuan.
d.      Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan,sehingga setiap individu di dalamnya merasa terikat satu dengan yang lainnya.
Dalam hidup bermasyarakat manusia menghasilkan kebudayaan. Kebudayaan adalah "keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar" (Koentjaraningrat, 1985). Ada tiga jenis wujud kebudayaan, ketiga wujud kebudayaan tersebut adalah:
v  Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dsb.
v  Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
v  Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
v  Terdapat hubungan dan saling mempengaruhi antara individu, masyarakat dan  kebudayaannya.
Individu, masayarakat dan kebudayaannya tak dapat dipisahkan. Hal ini sebagaimana Anda maklumi bahwa setiap individu hidup bermasyarakat dan berbudaya, adapun masyarakat itu sendiri terbentuk dari individu-individu. Masyarakat dan kebudayaan mempengaruhi individu, sebaliknya masyarakat dan kebudayaan dipengaruhi pula oleh individu-individu yang membangunnya.
Untuk mencapau tujuan-tujuannya, atau dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, setiap individu maupun kelompok melakukan interaksi sosial. Dalam interaksi sosial tersebut mereka melakukan berbagai tindakan sosial, yaitu perilaku individu yang dilakukan dengan mempertimbangkan dan berorientasi kepada perilaku orang lain untuk mencapai tujuan tertentu. Tindakan sosial yang dilakukan individu hendaknya sesuai dengan status dan peranannya, dan diharapkan sesuai pula dengan kebudayaan masyarakatnya. Masyarakat menuntut hal tersebut tiada lain agar tercipta konformitas dan homogenitas. Konformitas yaitu bentuk interaksi yang di dalamnya setiap individu berperilaku terhadap individu lainnya sesuai dengan yang diharapkan kelompok atau masyarakat, sedangkan homogenitas yaitu adanya kesamaan dalam nilai, harapan, norma dan perilaku individu-individu di dalam masyarakatnya. Dalam konteks interaksi sosial, apabila tindakan-tindakan sosial yang dilakukan individu tidak sesuai dengan sistem nilai dan norma atau kebudayaan masyarakatnya, maka individu yang bersangkutan akan dipandang melakukan penyimpangan tingkah laku atau penyimpangan social (deviant behavior atau social deviant). Terhadap pelaku penyimpangan tingkah laku atau penyimpangan sosial tersebut masyarakat akan mengucilkannya, bahkan melakukan pengendalian sosial (social control), yaitu apa yang didefinisikan Peter L. Berger sebagai "berbagai cara yang digunakan masyarakat untuk menertibkan anggotanya yang membangkang" (Kamanto Sunarto, 1993).
Dari interaksi antar individu yang saling membutuhkan akan menimbulkan pranata sosial. Pendidikan sebagai Pranata Sosial menurut Theodorson pranata sosial (social institution) adalah suatu sistem peran dan norma sosial yang saling berhubungan dan terorganisasi disekitar pemenuhan kebutuhan atau fungsi sosial yang penting (Sudarja Adiwikarta,1988). Komblum menggunakan istilah institusi untuk menjelaskan pranata sosial, ia mendefinisikannya sebagai "suatu struktur status dan peranan yang diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar anggota masyarakat" (Kamanto Sunarto, 1993).
Redaksi berbagai definisi pranata sebagaimana disajikan di atas memang berbeda-beda, namun demikian pada dasarnya mengandung pengertian yang relatif sama. Esensinya dapat Anda pahami bahwa pranata sosial merupakan suatu sistem aktivitas yang khas dari suatu kelakuan berpola; aktivitas yang khas ini dilakukan oleh berbagai individu atau manusia yang mempunyai status dan peran masing-masing yangsaling berhubungan atau mempunyai struktur; mengacu kepada sistem ide, nilai dan norma atau tata kelakuan tertentu; dilakukan dengan menggunakan berbagai peralatan;dan aktifitas khas ini berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dasar anggota masyarakat.
Pendek kata, pranata sosial adalah perilaku terpola yang digunakan oleh suatu masyarakat untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasarnya.
Terdapat berbagai pranata sosial, antara lain: pranata ekonomi, pranata politik, pranata agama, pranata pendidikan, dsb. Pranata pendidikan. Pranata pendidikan adalah salah satu pranata sosial dalam rangka proses sosialisasi dan/atau enkulturasi untuk mengantarkan individu ke dalam kehidupan bermasyarakat dan berbudaya, serta untuk menjaga kelangsungan eksistensi masyarakat dan kebudayaannya. Melalui pranata pendidikan sosialisasi dan/atau enkulturasi diselenggarakan oleh masyarakat, sehingga dengan demikian eksistensi masyarakat dan kebudayaanya dapat bertahan sekalipun individu-individu anggota masyarakatnya berganti karena terjadinya kelahiran, kematian, dan/atau perpindahan. Sebagai pranata sosial, pranata pendidikan berada di dalam masyarakat dan bersifat terbuka. Sebab itu, pranata pendidikan mengambil masukan (input) dari masyarakat dan memberikan keluarannya (out put) kepada masyarakat. Contoh: Para pendidik dan peserta didik dalam suatu pranata pendidikan masukkannya berasal dari penduduk masyarakat itu sendiri; Tujuan pendidikan dirumuskan berdasarkan masukan dari sistem nilai, harapan dan cita-cita masyarakat yang bersangkutan; dsb. Sebaliknya, masyarakat menyediakan atau memberikan sumber-sumber input bagi pranata pendidikan dan menerima out put dari pranata pendidikan. Contoh: di dalam masyarakat terdapat penduduk, sistem nilai, sistem pengetahuan, dsb., hal ini merupakan sumber input yang disediakan masyarakat bagi pranata pendidikan. Tetapi masyarakat pun (misalnya suatu perusahaan) menerima lulusan dari pranata pendidikan (sekolah atau perguruan tinggi) untuk diangkat sebagai pegawai atau karyawan), dsb.
Pada dasarnya terdapat dua fungsi pokok pendidikan dalam hubungannya dengan keadaan serta harapan masyarakat dan kebudayaannya. Kedua fungsi yang dimaksud adalah:
v  Fungsi konservasi. Dalam hal ini, pranata pendidikan berfungsi untuk mentransmisikan, mewariskan atau melestarikan nilai-nilai budaya masyarakat dan/atau mempertahankan kelangsungan eksistensi masayarakat.
v  Fungsi Inovasi/kreasi/transformasi
Dalam hal ini, pranata pendidikan berfungsi untuk melakukan perubahan dan pembaharuan masyarakat beserta nilai-nilai budayanya.
Kedua fungsi pendidikan sebagaimana dikemukakan di atas, yaitu fungsi konservasi dan fungsi inovasi pendidikan bagi masyarakat dan kebudayaannya dapat kita pahami dan riil terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana Anda maklumi, di dalam masyarakat terdapat nilai-nilai, pengetahuan, dan kelakuan-kelakuan berpola yang masih relevan dan dipandang baik yang harus tetap dilestarikan. Sebaliknya, terdapat pula nilai-nilai, pengetahuan dan kelakuan berpola yang sudah dipandang tidak relevan lagi dan tidak bernilai yang perlu diubah atau diperbaharui. Adapun untuk melestarikan dan melakukan  pembaharuan atau perubahan tersebut masyarakat perlu melakukannya melalui pendidikan, atau melalui apa yang di dalam antropologi disebut enkulturasi.
http://file.upi.edu/Direktori/DUAL-MODES/LANDASAN_PENDIDIKAN/BBM_4.pdf






E.