Friday, 15 November 2013

PAYING ATTENTION

BAB I
PENDAHULUAN


1.      Latar Belakang
Manusia memiliki kemampuan perseptual yang begitu hebat. Kita bisa mengenali rangkaian huruf yang tercetak dalam laporan ini, mengenali beragam suara orang lain serta suara-suara continuum seperti alunan musik, mengenali wajah seseorang sebagai orang yang kita kenal, dan lain-lain. Selama ini kita mungkin tidak memikirkan kemahadahsyatan kemampuan itu, tetapi setelah membaca laporan ini, Anda akan menemukan betapa rumit dan kompleksnya proses persepsi yang tanpa sadar dengan mudah kita melakukannya.
Persepsi mengombinasikan dua hal, yaitu stimulus yang dari dunia luar dan pengetahuan yang manusia miliki mengenali stimulus tersebut. Dengan kata lain, manusia menggunakan pengetahuan yang ia miliki untuk menginterpretasi stimu-lus yang diterima oleh panca indera, misalnya ketika Anda melihat kata Indonesi-, meskipun Anda belum melihat ada huruf a, tetapi pengetahuan yang Anda miliki membuat Anda mempersepsi bahwa akan ada huruf a setelah Indonesi-. Selain contoh persepsi di atas, dalam laporan ini juga akan dijelaskan secara singkat mengenai:
1.      Latar belakang pengenalan objek visual
2.      Pengolahan top-down dan pengenalan objek visual
3.      Persepsi wajah
4.      Persepsi kemampuan bicara





2.      Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui perbedaan sensasi dengan sensasi
2.      Untuk mengetahui gangguan-gangguan yang terjadi pada persepsi
3.      Untuk menjelaskan latar belakang objek visual
4.      Untuk dapat membedakan pengolahan secara Top-Down dengan Bottom-Up
5.      Untuk dapat membedakan cara kerja otak dalam mengenali wajah dengan benda lain, dan mengetahui penelitian-penelitian yang berkaitan dengan neurosciense, serta untuk dapat menegetahui perbedaan pada orang yang mengidap schizophrenia
6.      Untuk mengetahui persepsi kemampuan bicara

3.      manfaat
Diharapka makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi pembaca











BAB II
MENGENALI STIMULUS VISUAL DAN AUDIOTORI

A.      Perbedaan Persepsi dengan Sensasi
Sensasi adalah proses menangkap stimuli dan tahap paling awal dalam penerimaan informasi sedangkan persepsi adalah proses memberi makna pada sensasi sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru. Dengan kata lain persepsi mengubah sensasi menjadi informasi.
Pengalaman elementer yang segera, yang tidak memerlukan penguraian verbal, simbolis, atau konseptual, dan terutama sekali berhubungan dengan kegiatan alat indera termasuk kedalam sensasi. Sedangkan suatu proses aktif timbulnya kesadaran dengan segera terhadap suatu obyek yang merupakan faktor internal serta eksternal individu meliputi keberadaan objek, kejadian dan orang lain melalui pemberian nilai terhadap objek tersebut termasuk kedalam persepsi. Sejumlah informasi dari luar mungkin tidak disadari, dihilangkan atau disalahartikan. Mekanisme penginderaan manusia yang kurang sempurna merupakan salah satu sumber kesalahan persepsi. Hubungan sensasi dengan persepsi sudah jelas. Sensasi adalah bagian dari persepsi. Tetapi didalam prosesnya sensasi dan presepsi berbeda, kalau sensasi penerimaan stimulus lewat indera sedangkan persepsi yaitu menafsirkan stimulus yang telah ada didalam otak.
Kemampuan berfikir, pengalaman-pengalaman individu tidak sama, maka dalam mempersepsi dan memsesasikan sesuatu stimulus, hasil persepsi dan sensasi mungkin akan berbeda antara individu satu dengan individu lain.karena persepsi dan sensasi bersifat individual.contohnya pada perbeadaan kapasitas alat indera menyebabkan perbedaan dalam memilih pekerjaan atau jodoh, mendengarkan musik, atau memutar radio. Yang lebih jelasnya, sensasi mempengaruhi persepsi, jadi keduanya saling berhubungan satu sama lain.

B.     Gangguan Persepsi
1.    ilusi
Ilusi didefinisikan sebagai distorsi perseptual dalam mengestimasi ukuran, bentuk, dan hubungan spasial yang umum terjadi bahkan tanpa adanya gangguan psikiatri, terutama ketika seorang sangat lelah atau sangat terangsang. Ilusi merupakan misinterpretasi dari stimuli sensorik yang nyata seperti ketika seorang anak kecil dalam kamarnya yang gelap di malam hari melihat monster dari bayangan-bayangan di dinding.
·         Pareidolia adalah sebuah ilusi visual volunter bersifat ambigu dan aneh yang dapat dilihat ketika seorang melihat suatu gambar atau benda tertentu (awan, api, dll). Onset dan terminasi dari persepsi ini sepenuhnya bersifat volunter. 
·         Trailing adalah persepsi bahwa suatu objek terus bergerak diikuti sebuah after image dari benda tersebut. Fenomena ini biasa terjadi pada individu yang kelelahan atau intoksikasi mariyuana dan mescaline.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhJtM6EawNoJXXgo1fK6PQ5tXZw3Skz7UvPQ6ldpe1v6ABA5GBf3Z_2_HZOxu7eDMdpt3cE3yY7nJggZCGCA5iHvW97fjtltVl-mju4XuurqXY1vRp8Vr19S3FeXtwvIdh-Sl9ILYLb8qU/s320/NewPareidolia5.jpg
Gambar 1. contoh  Pareidolia
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiFizXMk39zTL5MKdzS6ap4bQ6VSoWNPOkNSgklySBc1JytULoUI8jkYP8uaf3UCArIGo8sAqTcKURbpMBDQ7BOtEIKIL8WsIN7auwlRSRhIWZUlYk23vmBtYC3es-kNxAnuZmJ2Q5-yzI/s320/1400347678_5c4d9b14c1.jpg
Gambar 2 contoh Trailing
2.    Halusianasi
Halusinasi merupakan persepsi yang timbul pada keadaan sadar atau bangun tanpa adanya stimulus sensorik yang berhubungan. Halusinasi biasa dialami secara privat dimana orang lain tidak dapat melihat atau mendengar persepsi yang sama. Halusinasi dapat menyerang sistem sensorik manapun dan terkadang terjadi bersamaan pada beberapa modalitas sensorik. Saat persepsi terganggu, kombinasi ilusi dan halusinasi, dan sering bersama dengan delusi, dialami bersamaan. Pada beberapa studi, 90% pasien dengan halusinasi juga mengalami delusi dan sekitar 35% pasien delusi juga megalami halusinasi. Anak-anak dan dewasa muda lebih sering menderita halusinasi tanpa delusi.
Halusinasi dialami oleh banyak orang normal pada kondisi yang tidak biasa. Diestimasikan 10-27% populasi pernah mengalami halusinasi yang memorabel, umumnya halusinasi visual.
·         Halusinasi Visual
Halusinasi jenis ini merupakan halusinasi yang paling umum dimaksud oleh orang yang mengalami halusinasi. Termasuk di sini fenomena melihat sesuatu yang tidak ada atau persepsi visual yang tidak sesuai dengan realitas. Halusinasi visual terjadi pada banyak kelainan neurologis dan psikiatri termasuk sindrom putus obat, toksisitas, lesi fokal SSP, migraine, schizophrenia, dan kelainan mood psikotik.
·         Halusinasi Auditori
Halusinasi auditori (paracusia) merupakan persepsi mendengar suara-suara tanpa adanya stimulus eksternal. Komplekstisitasnya bervariasi dari hanya mendengarkan suara berputar atau bisikan yang tidak jelas sampai mendengarkan diskusi beberapa orang mengenai pasien tersebut. Halusinasi auditori simple secara umum berhubungan dengan psikosis organik seperti delirium, kejang parsial kompleks, dan enselofati metabolik. Secara klasik halusinasi auditori dihubungkan dengan schizophrenia (terlihat pada 60-90% pasien) namun juga dapat terlihat pada pasien kelainan mood psikotik. 20% dari pasien manik dan kurang dari 10% pasien depresi juga mengalami halusinasi auditori. Selain itu juga ada halusinasi suara yang bersifat memberi perintah pada pasien. Biasanya perintah yang diberikan bersifat mengingatkan kegiatan sehari-hari seperti “Bersihkan meja” namun suara tersebut juga dapat bersifat menakutkan dan berbahaya seperti memerintahkan aksi kejahatan dan bunuh diri. Suara-suara ini umumnya bersifat memaksa dan persisten; dan kapabilitas pasien untuk mengacuhkan suara ini berbeda-beda.
3.    Halusinasi Olfaktori
Halusinasi olfaktori (phantosmia) merupakan fenomena mencium bau dari sesuatu yang tidak ada. Umumnya bau yang tercium merupakan bau-bau yang tidak menyenangkan seperti bau busuk dan lain-lain. Phantosmia sering diakibatkan oleh kerusakan pada jaringan nervus pada sistem olfaktori yang dapat disebabkan oleh berbagai hal (infeksi, tumor, trauma, toksik, dan obat-obatan). Halusinasi olfaktori juga dapat muncul pada beberapa kasus terkait imajinasi asosiatif seperti ketika menonton film roman dimana seorang pria memberikan mawar pada wanita dan penonton merasakan bau mawar.
4.    Halusinasi Taktil
Halusinasi taktil merupakan halusinasi adanya input sensori taktil. Salah satu jenis halusinasi taktil yang paling sering adalah formikasi dimana pasien merasakan sensasi serangga merayap pada kulit dan biasanya diasosiasikan dengan penggunaan kokain dan amphetamine jangka panjang atau withdrawal dari alkohol. Namun formikasi juga dapat terjadi akibat dari perubahan hormonal seperti menopause atau kelainan seperti neuropati perifer, demam tinggi, Lyme disease, dll.
5.    Halusinasi Gustatorik
Halusinasi tipe ini meruapkan persepsi adanya rasa tanpa stimulus. Halusinasi ini biasanya bersifat tidak nyaman dan umum terjadi pada pasien dengan epilepsi fokal terutama epilepsi lobus temporal. Regio otak yang bertanggungjawab pada halusinasi gustatorik adalah daerah insula dan bagian atas dari fisura Sylvian.
6.    Halusinasi Hipnagogik dan Hipnopompik
Halusinasi ini merupakan halusinasi yang sangat umum terjadi biasanya berupa halusinasi visual yang terjadi pada momen akan tidur atau transisi dari tidur menjadi bangun. Halusinasi ini dapat terjadi pada orang normal dan juga merupakan karakteristik dari orang yang mengalami narcolepsy. Pada kehilangan yang akut, lebih dari 50% pasangan melaporkan adanya halusinasi suara maupun kehadiran dari pasangan yang telah meninggal dan pada amputasi, halusinasi bayangan ekstremitas umum terjadi.

C.    Latar Belakang Pengenalan Objek Visual
Ketika manusia mempersepsi objek, sensory processes mentransformasi dan mengatur informasi mentah yang diterima oleh reseptor sensori, yang kemudian stimulus tersebut dibandingkan dengan informasi yang tersedia dalam memori. berikut adalah penjelasan bagaimana proses persepsi visual dan teori-teori penge-nalan objek.
1.      Sistem Visual
Ada dua istilah yang lazim digunakan dalam stimulus perseptual, yaitu stimulus distal dan stumulus proximal. Stimulus distal adalah objek sebenarnya yang ada di dunia luar, sedangkan stimulus proximal adalah informasi yang masuk melalui resptor sensori. Untuk lebih mudah memahami kedua istilah tersebut, bayangkan ketika Anda melihat sepatu, sepatu itu sendiri merupakan stimulus distal. Ketika cahaya yang dipantulkan sepatu mencapai dan menstimulasi retina Anda, itulah stimulus proximal. Contoh lain adalah dering telepon. Dering telepon itu sendiri merupakan stimulus proximal, menjadi stimulus proximal ketika dering telepon tersebut menstimulasi reseptor auditori seseorang.
Stimulus eksternal dari lingkungan masuk pertama kali ke dalam sensory memory. Sensory memory adalah sistem penyimpanan berkapasitas besar yang merekam informasi dari panca indera dengan keakurata yang masuk akal. Ada dua jenis sensory memory yaitu iconic memory atau visual sensory memory dan echoic memory atau auditory sensory memory. Seperti namanya, iconic memory memungkinkan gambaran dari stimulus visual bertahan kurang dari setengah detik setelah stimulus tersebut menghilang. Begitu halnya echoic memory yang memungkinkan informasi dari stimulus auditori bertahan sekitar empat detik setelah stimulus tersebut menghilang.
Informasi visual yang masuk ke dalam retina harus melalui visual pathway, yaitu neuron-neuron yang berada di antara retina dan primary visual cortex
Gambar 3. Skema dari celebral cortex, yang terlihat dari sebelah kiri
Primary visual cortex terletak di lobus oksipital otak yang berfokus pada pemrosesan dasar stimulus visual. Sebagaimana namanya, primary visual cortex hanya sebagai pemberhentian pertama stimulus visual di dalam korteks. Para peneliti telah mengidentifikasi adanya tiga puluh area tambahan yang berperan dalam persepsi visual (Frishman, 2001; Kosslyn, 1999). Area-area tambahan tersebut aktif ketika proses pengenalan objek yang komplek.
2.      Organisasi dalam Persepsi Visual
Pengenalan objek merupakan suatu kemampuan luar biasa yang dimiliki manusia. Salah satu pendekatan yang dikenal sebagai Gestalt psychology menyatakan bahwa manusia cenderung untuk mengorganisasikan apa yang mereka lihat sebagai pola daripada susunan yang acak. Ketika dua area berbagi dalam batasan yang sama ada yang menjadi figur dan ground. Figur memiliki bentuk dan batasan yang jelas, sedangkan ground merupakan area dibelakang figur. Selain itu, figur juga terlihat lebih dekat dibandingkan ground.
Kemampuan luar biasa persepsi manusia dibuktikan dengan tetap mampunya kita dalam mempersepsi meskipun hubungan antara figur dan ground ambigu. Contohnya adalah pada gambar dibawah ini :
Gambar 4. Efek Vase-Faces: contoh hubungan dari figure-ground
Figur dan ground pada gambar di atas silih berganti dari waktu ke waktu, misalnya pertama kali kita mempersepsi gambar itu dengan vas sebagai figur dan wajah sebagai ground, tetapi kemudian kita melihat vas sebagai ground dan wajah sebagai figur.
Selain, hubungan figur-ground yang ambigu, manusia juga masih tetap dapat mempersepsi meskipun tidak ada batasan yang jelas, seperti gambar di bawah ini:
Gambar 5. contoh dari illusory contours

Manusia lebih mempersepsi gambar di atas sebagai segitiga putih yang menutupi segitiga terbalik dan tiga lingkaran kecil. Hal inilah yang disebut illusory contours. Faktor-faktor yang membantu kita dalam ilusi ini yaitu ada beberapa sel dalam sistem visual yang merespon terhadap contours, serta sistem visual kita berusaha untuk make sense susunan yang tidak beraturan tersebut.
3.      Teori Mengenali Objek Visual
1.      Teori Template-matching
Para peneliti mengajukan tiga teori yang berkalitan dengan pengenalan objek yang dilakukan oleh sistem visual. Teori-teori tersebut yaitu template matching, feature analysis, dan recognition by component. Template matching merupakan teori yang kurang memadai, namun ia adalah teori pertama yang berusaha menjelaskan pengenalan objek. Template  matching digunakan untuk mengenali pola 2-dimensi seperti huruf dan angka.
Ketika melihat huruf R, Anda dapat langsung mengenalinya. Berdasarkan teori template matching, proses pengenalan tersebut terjadi dengan membandingkan stimulus fisik R dengan template atau pola yang sudah terlebih dahulu tersimpan dalam otak. Cara kerja teori template matching memiliki kesamaan dengan permainan jigsaw di komputer. Untuk dapat menyelesaikan permainan tersebut, Anda harus memasangkan kartu yang memiliki gambar sama. Jika terdapat kartu dengan gambar hati berwarna merah, maka Anda harus memasangkannya dengan kartu yang sama – yakni kartu dengan gambar hati berwarna merah. Sama halnya dengan sistem visual, Anda tidak dapat mengenali huruf Q jika Anda memasangkannya dengan template huruf O; karena huruf Q memiliki garis lebih yang membuatnya tidak cocok dengan template  O.
Proses pengenalan template matching bekerja sangat baik pada komputer pengenal data, seperti mesin ATM. Ketika kartu ATM dimasukkan, mesin akan segera membandingkan angka-angka pada kartu dengan memori yang tersimpan di server untuk mengenali pemilik dari kartu ATM tersebut. Satu kartu ATM pasti memiliki angka yang berbeda dengan kartu ATM lainnya. Proses pengenalan ini tentunya sangat mudah dilakukan oleh komputer. Hal itu disebabkan karena bentuk angka yang berbeda (secara konstan) satu sama lain. Berbeda dengan tulisan tangan manusia yang terkadang angka 4 memiliki bentuk penulisan yang hampir sama dengan angka 9.
Dengan menggunakan contoh pada komputer pengenal data, dapat disimpulkan bahwa teori template matching tidak fleksibel pada visual manusia karena pengenalan huruf tidak akan terjadi apabila huruf yang tersedia memiliki sedikit perbedaan dengan template  yang ada di otak.
Gambar 6. contoh variasi tulisan tangan
Lantas bagaimana pengenalan huruf bisa terjadi pada manusia yang setiap harinya dapat membedakan huruf dengan cepat? Apabila Anda melihat tulisan di atas, Anda tetap bisa membedakan huruf T dengan berbagai versi (bentuk). Bahkan apabila dimodifikasi, teori template matching masih dianggap kurang cocok untuk mengenali huruf dari perspektif yang berbeda. Ketika huruf T diputar 180°, Anda masih dapat mengenalinya walaupun gambar yang sampai ke retina berubah drastis (garis horizontal yang ada di atas berpindah ke bawah). Jika menggunakan teori template matching, manusia pasti akan memerlukan banyak template  berbeda untuk huruf T, dengan perspektif yang berbeda-beda pula. Hal tersebut menjadi tugas berat untuk membandingkan satu huruf dengan jutaan template  yang ada di memori – tentunya bertentangan dengan kenyataan bahwa setiap harinya manusia dapat mengenali huruf dalam waktu yang relatif cepat.
Dari beberapa pembahasan di atas, teori template matching hanya bekerja pada huruf terisolasi, angka dan benda sederhana saja. Ketika melihat ke sekitar, Anda pasti melihat ujung buku, tutup pulpen, seberkas cahaya, dan lain-lain, walaupun benda-benda tersebut hanya sebagian saja yang tergambar pada retina, tetapi masih dapat dikenali. Apabila sistem visual menggunakan template, maka akan tersedia pula template untuk benda yang sebagian tersebut. Teori template matching tidak cocok dengan visual manusia yang bekerja terlalu kompleks.
2.      Teori Feature analysis.
Teori ini menyebutkan bahwa stimulus visual merupakan komponen dan karakteristik sama dengan ciri khas. Otak manusia menyimpan ciri khas untuk setiap huruf. Huruf R memiliki ciri khas yaitu garis lengkung di atas, garis vertikal, dan garis diagonal. Ketika muncul huruf baru, otak akan segera menyimpan ada atau tidaknya ciri khas. Kemudian untuk mengenalinya, huruf yang tergambar akan dibandingkan dengan ciri khas yang ada. Dengan feature analysis ini, pengenalan huruf yang ada pada tulisan tidak akan bermasalah dengan bentuknya yang berbeda-beda karena di seluruh dunia huruf R akan selalu memiliki tiga ciri khas.
Ciri khas huruf akan selalu konstan dalam kondisi ditulis tangan, print out, dan lain-lain. Eleanor Gibson telah menyusun tabel mengenai ciri khas tersebut. Gambat di samping merupakan tampilan dari tabelnya.
                             
Teori feature analysis memiliki kekonsistenan dengan ilmu psikologi dan neurosains. Berdasarkan penelitian psikologi, manusia lebih lama mengenali dua huruf yang memiliki feature hampir sama seperti P (memiliki feature garis vertikal dan lengkungan di atas) dan R (memiliki feature garis vertical, lengkungan di atas, dan garis diagonal) daripada mengenali huruf G dan M (memiliki feature yang berbeda satu sama lain).
Feature analysis juga selaras dengan bukti yang didapatkan neurosains. Hubel dan Wiesel melakukan percobaan dimana perekaman sel tunggal dilakukan dengan memasukkan kawat kecil ke dalam korteks visual hewan yang dibius. Kemudian mereka memperlihatkan stimulus sederhana seperti cahaya bar vertikal sehingga muncul neuron tertentu yang menanggapinya. Neuron atau yang disebut dengan detektor ciri tersebut bereaksi kuat ketika diberi stimulus pada orientasi tertentu. Detektor ciri ada tiga macam yaitu, sel sederhana yang merespon stimulus lurus dan pada posisi tertentu, sel kompleks yang merespon stimulus dan tidak pada posisi yang tertentu, serta sel hiperkompleks yang merespon pada stimulus pada orientasi dan panjang tertentu. Detektor ciri tersebut berfungsi untuk membantu pengenalan objek.
Tidak berbeda dengan template matching, teori feature analysis juga memiliki kekurangan berupa kurangnya pertimbangan pada hubungan fisik dari ciri khas huruf-huruf. Contohnya adalah pada huruf T (terdapat garis horizontal di atas garis vertikal) dan huruf L (terdapat garis horizontal berbaring di bawah garis vertikal). Kedua huruf tersebut memiliki feature yang sama. Sehingga apabila terdapat huruf T dan L, seharusnya muncul kesulitan untuk mengenali keduanya. Tetapi, hal tersebut nampaknya lain dari kenyataan sehingga perlu memerhatikan kembali hubungan fisik dari ciri khasnya.
Teori feature analysis memang sangat cocok untuk mengenali huruf. Lalu bagaimana dengan benda yang lebih kompleks bentuknya? Tentunya benda yang kompleks memiliki garis yang lebih banyak sehingga akan muncul kesulitan apabila menggunakan teori feature analysis. Untuk itu, teori baru muncul untuk menjelaskan proses pengenalan objek yang lebih kompleks.
3.      Teori  recognition-by-components.
Teori ini berpendapat bahwa objek-objek yang dalam memori kita merupakan sebuah penyusunan dari bentuk tiga dimensi sederhana yang disebut geon. Geon-geon ini seperi halnya huruf alfabet yang dapat dikombinasikan menjadi sebuah kata, juga dapat dikombinasikan menjadi sebuah objek yang bermakna. Seperti yang terlihat dari gambar disamping, geon 1, 3, 5 berkombinasi menjadi sebuah telepon. Geon-geon lain pun dapat dikombinasikan menjadi lampu senter, cangkir, koper, ember, lampu meja dan lainnya. Pada umumnya, orang-orang sudah dapat mengenali sebuah objek hanya dengan pengombinasian tiga geon saja, meskipun sebagian objek sudah dapat dikenali hanya dengan pengkombinasian dua geon. Teori ini juga menyatakan bahwa ketika kita mengenali sebuah objek, ada dua hal penting yang perlu diperhatikan, yakni :
1.      Tepi – yang memungkinkan kita untuk mempertahankan persepsi yang sama dari objek tanpa melihat orientasinya.
2.      Concavities – wilayah di mana dua sisi bertemu. Memungkinkan kita untuk mengamati pemisahan antara dua atau lebih geon.
Manusia biasanya kurang cepat mengenali sebuah objek jika objek tersebut dilihat dari sudut pandang yang tidak biasanya. Oleh karena itu, dalam teori ini diperlukan sebuah modifikasi. Bentuk modifikasinya yaitu pendekatan viewer-centered, yaitu menyimpan beberapa gambaran berbagai sudut pandang dari sebuah objek, jadi tidak hanya gambaran dari satu sudut pandang saja. Selain itu, ketika gambaran suatu objek tidak memiliki kecocokan dengan gambaran-gambaran yang telah tersimpan, secara mental kita memutar stimulus yang diterima hingga menemukan gambaran yang cocok dengan yang tersimpan.
Teori ini dikenal sebagai teori dari Irving Biederman. Teori ini didasari oleh teori feature-analysis. Kelemahan teori ini yaitu dalam mengenali objek yang kompleks seperti buah apel dan pir yang memiliki geons sama dan memiliki gambaran yang sama dari setiap sudut pandangnya.
Selain menggunakan tiga teori di atas, pengenalan objek bisa dijelaskan melalui beberapa teori 3-D di bawah ini, yaitu:
1.      Structural-Description Models
Mirip dengan teori recognition-by-component, teori ini menyatakan bahwa seluruh objek merupakan kombinasi dari bentuk-bentuk dasar 3-D.
2.      Image-Based Models
Teori ini menyatakan bahwa semua objek memiliki gambaran 3-D-nya tersendiri yang lebih sederhana dari gambar aslinya. Walaupun dikritik sebagai teori yang samar, tetapi ia dapat digunakan dalam seluruh aspek objek – seperti warna, tekstur, dan lain-lain.

D.    Pengolahan Top Down dan Pengenalan Objek Visual
Bagaimana kita mengenali suatu pola? Apakah kita mengenalinya dari bagian-bangian yang selanjutnya menjadi dasar terhadap keseluruhan, atau diawali dengan hipotesis terhadap keseluruhan selanjutnya amengidentifikasi dan merekognisi bagian-bagiannya. Perhatikan perbadaan cara pengenalan pola berikut ini.

1.      Perbedaan Antara Pengolahan Bottom-Up dan Top-Down
Kita mengenal dua proses dalam pengenalan objek, yaitu proses bottom-up (data-driven processing) dan proses top-down (conceptually driven processing). Bottom-up menekankan pada pentingnya stimulus dalam pengenalan objek. Yakni lebih kepada sensori resptor, dimana terjadi masuknya semua informasi dari objek terutama informasi mengenai karakteristik objek tersebut. Informasi tersebut membentuk sebuah pergerakan proses dari level yang paling bawah (bottom) dan bekerja dengan cara up hingga mencapai proses kognitif di luar konteks visual primer. Jadi, proses ini lebih menekankan pada feature seperti halnya pengenalan objek berdasarkan komponen.
Lalu, proses selanjutnya yaitu proses top-down, yang menekankan pada bagaimana konsep serta tingginya level mental seseorang berpengaruh dalam pengenalan sebuah objek. Konsep, ekspektasi, dan memorilah yang membantu dalam pengenalan objek. Dengan kata lain, proses ini mirip dengan proses global-to-local yang mengutamakan konteks yang berkaitan dengan obyek tersebut dalam mengenalinya, misalnya dari bentuk kombinasi geon 3 dan 5 (pada gambar sebelumnya dalam teori RBC), kita akan lebih cepat mengenali bentuk kombinasi tersebut sebagai cangkir bila kita sedang berada di Cafe, dan akan mengenali itu sebagai gayung jika berada di kamar mandi. Hal itu terjadi karena pengalaman ataupun memori yang kita miliki. Jadi pada dasarnya, ekspektasi kita berada pada level yang lebih tinggi (top) dari proses visual yang bekerja dengan cara down mereka sehingga membantu kita dalam pemprosesan awal proses visual.
Proses bottom-up dan top-down diperlukan untuk menjelaskan kekompleksitasan dari pengenalan obyek.

2.      Pengolahan Top-Down dan Membaca
Salah satu fenomena terbesar dalam proses top-down ialah the word superiority effect, yang mana kita dapat mengenali satu huruf lebih akurat dan cepat ketika muncul dalam sebuah kata yang bermakna dibanding ketika muncul sendiri atau dalam sebuah kata tidak bermakna. Banyak teori yang berusaha menjelaskan bagaimana proses top-down dan bottom-up berinteraksi dalam menghasilkan efek superioritas kata (the word superiority effect). Salah satu pendekatannya adalah Parallel Distributed Process (PDP). PDP atau conetionism ini berpendapat bahwa proses kognitif bisa dipahami dalam hal jaringan yang menghubungkan setiap unit terkait. Model PDP ini ialah “seseorang melihat features dalam kata, lalu features ini mengaktifkan unit-unit letter. Unit letter ini lalu mengaktifkan unit-unit kata di dalam kamus mental seseorang untuk pengkombinasian letter-letter tersebut”. Jadi, ketika unit kata itu aktif, maka rangsangan saraf umpan balik akan membantu dalam mengidentifikasi huruf tunggal. Hasilnya orang-orang dapat mengidentifikasi sebuah huruf relatif lebih cepat dibanding ketika melihat huruf tersebut dalam kata yang tidak berkaitan karena tidak adanya rangsangan umpan balik. Jadi, lebih mudahnya letter dikenali dalam sebuah kata yang berkonteks ini merupakan ilustrasi penting dari proses top-down. Selain itu, kalimat yang berkonteks juga akan memudahkan kita dalam mengenali sebuah kata.
Rueckl dan Oden mendemonstrasikan bahwa fitur dari stimulus dan konteks natural memengaruhi pengenalan kata. Demonstrasi ini menggunakan koordinasi dari dua proses. yaitu proses bottom-up  dan top-down, misalnya, satu set stimulus menggambarkan huruf a membentuk huruf r dan n. Dari beberapa stimulus, dihasilkan kata antara bears dan beans. Setelah itu, peneliti menggabungkannya dengan kata benda atau frase, seperti zookeeper, botanist. Hasilnya menunjukkan bahwa zookeeper akan melihat kata bears dan botanist melihat kata beans.
Hal ini menggambarkan bahwa fitur-fitur dari stimulus sangat penting karena pengenalan kata menggunakan proses bottom-up. Selain itu, konteks juga sangat penting karena konteks memengaruhi kita dalam mengenal kata. Huruf sebelumnya dalam kata membantu kita mengidentifikasi huruf-huruf lainnya lebih cepat dan kata-kata dalam sebuah kalimat membantu kita mengidentifikasi kata tunggal lebih cepat.
3.      Pendalaman: Pengolahan Top-Down Berlebihan dan Kesalahan Tak Berkala dalam Pengenalan Objek
Proses perceptual yang kita miliki menggunakan strategi rasional yang disebut dengan proses top-down, tetapi terkadang mereka bekerja berlebihan. Sehingga, orang-orang mungkin akan mengabaikan informasi penting yang dihadirkan oleh stimulus.
Mary Potter dan koleganya (1993) mengilustrasikan kelebihan kerja dari proses top-down. Orang-orang diminta untuk membaca daftar stimulus, dimana setengah dari stimulus tersebut adalah kata yang sebenarnya dan setengah lainnya adalah nonword yang dibuat dengan cara mensubstitusi vokal baru pada kata sebenarnya. Misal, dream menjadi droam. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa orang-orang tersebut terbukti mengkonversi nonword menjadi kata sebenarnya dalam 42% dari percobaan. Proses top-down mereka bekerja berlebihan, dan mereka membaca dream, padahal kata sebenarnya adalah droam.
4.       Blindness
Kesalahan dalam pengenalan bukan hanya terjadi pada pengenalan kata, tapi juga terjadi dalam pengenalan objek. Peneliti menemukan gejala change blindness yang merupakan ketidakmampuan untuk mendeteksi perubahan di dalam objek atau tempat. Simons dan Levin melakukan percobaan mengenai stranger-and-the-door. Misal orang A menanyakan arah ke orang B, tiba-tiba ada seorang laki-laki membawa papan diantara mereka berdua sehingga papan tersebut menutupi orang A, lalu orang A diganti dengan orang C. Ternyata, hanya setengah yang menyadari bahwa orang A telah berganti menjadi orang C.
Secara umum, psikolog menggunakan istilah change blindness ketika seseorang gagal menyadari perubahan beberapa bagian dari stimulus. Selain itu, mereka juga menggunakan istilah inattentional blindness ketika seseorang gagal menyadari bahwa ada objek baru yang muncul.
Dalam kedua kasus diatas, kita sebenarnya menggunakan proses top-down ketika berkonsentrasi terhadap beberapa objek. Sehingga, ketika objek yang muncul tidak sesuai dengan konsep, ekspektasi, dan memori, orang-orang akan gagal untuk mengenali perubahan objek (change blindness) dan objek baru yang muncul (inattentional blindness)
E.       Pengenalan Wajah
1.      Mengenali  Wajah versus Mengenali Objek Lain
Cara kita mempersepsi wajah sangat berbeda dengan cara kita dalam mempersepsi benda lain. Cara kita mengenali wajah adalah dengan melihat wajah secara keseluruhan, tidak seperti benda lain yang dapat kita persepsi walaupun kita hanya menangkap sebagian dari benda tersebut. Bagian otak yang menerima persepsi wajah juga berbeda. Lokasi yang paling bertanggung jawab untuk pengenalan wajah adalah korteks temporal (Bentin et al, 2002;. Farah, 2000a). Lokasi tersebut lebih tepatnya dikenal sebagai korteks inferotemporal, di bagian bawah dari korteks temporal.
2.      Penelitian Neuroscience pada Pengenalan Wajah
Penelitian tentang persepsi wajah ini sebagian besar berasal dari pasien yang memiliki kerusakan otak seperti penderita prasopagnosia. Prosopagnosia adalah kelainan dalam mempersepsi wajah yang membuat orang yang mengalaminya akan sulit mengenali wajah termasuk wajahnya sendiri. Keadaan ini biasanya diakibatkan oleh kerusakan otak akut, walaupun bukti terkini juga memperlihatkan adanya kemungkinan pengaruh faktor keturunan
Penelitian tentang korteks inferotemporal ini pernah dilakukan oleh Rolls dan Tovee (1995) menggunakan monyet. Hasilnya menunjukan bahwa sel-sel yang ada di korteks inferotemporal berkerja sangat aktif saat ditunjukan foto wajah monyet secara keseluruhan, berkurang saat diperlihatkan foto monyet yang hanya sebagian, dan berkerja sangat rendah saat diperlihatkan foto lain. Penelitian lain yang menggunakan teknik fMRI, salah satu teknik yang paling canggih untuk mendapatkan gambar aktivitas otak pada manusia, mendapatkan hasil bahwa otak merespon lebih cepat terhadap wajah yang disajikan dalam posisi normal, tegak, dibandingkan dengan wajah yang disajikan terbalik. Penelitian neuroscience juga menunjukkan bahwa sel-sel tertentu dalam korteks inferotemporal bertanggung jawab untuk mengamati wajah.
Kemampuan untuk mempersepsi wajah manusia ternyata tidak hanya dimiliki oleh manusia. Sebuah studi yang diterbitkan dua peneliti Universitas Iowa dalam Journal of Vision menemukan kalau merpati mengenal ekspresi emosi dan identitas wajah manusia sama halnya seperti kita.
Merpati ditunjukkan potret-potret wajah manusia yang beraneka ragam dalam identitas wajah dan ekspresi emosi seperti marah atau tersenyum. Dalam satu eksperimen, merpati, seperti manusia, ditemukan mempersepsi kesamaan antara identitas dan emosi dalam wajah. Dalam percobaan kedua, eksperimen kuncinya, tugas para merpati adalah menggolongkan potret menurut hanya salah satu dimensi dan mengabaikan lainnya. Merpati ditemukan lebih mudah mengabaikan emosi saat mereka menggolongkan identitas wajah daripada mengabaikan identitas ketika menggolongkan emosi, demikian menurut Ed Wasserman, profesor psikologi eksperimental dan mahasiswa pasca sarjana Fabian Soto, keduanya dari Jurusan Psikologi Kampus Sains dan Seni Bebas Universitas Iowa. “Asimetri telah ditemukan berkali-kali dalam eksperimen pada manusia dan selalu ditafsirkan sebagai hasil organisasi khas sistem pemprosesan wajah manusia,” kata Soto. “Kami memberi bukti pertama kalau efek ini muncul dari proses persepsi yang ada pada vertebrata lain. “Tujuan dari proyek ini bukanlah menunjukkan kalau merpati mempersepsi wajah seperti kita atau ingin menunjukkan kalau manusia bukan satu-satunya yang mampu mengenali wajah. Tapi, tujuannya adalah melihat bahwa proses khas dan umum sepertinya terlibat dalam pengenalan wajah manusia dan kontribusi keduanya harus diperiksa secara empiris dengan hati-hati,” tambahnya.
Gambar 7.  pengenalan wajah melalui emosi




3.      Penerapan penelitian pada pengenalan wajah
Penerapan penelitian pengenalan wajah pada pertimbangan kasir pada foto ID (Kemp and collagues 1997) dan Sistem Pengawasan Keamanan (Burton and collagues 1999). Penelitian ini mengidentifikasi wajah orang yang familiar secara akurat dan wajah yang tidak familiar teridentifikasi dengan tidak akurat

4.      Perbedaan individual: identifikasi wajah pada orang pengidap Schizophenia
Orang dengan Schizophenia memiliki kekhususan yang tidak menunjukkan emosi yang intens dan berhalusinasi serta memiliki kesulitan mengidentifikasi wajah dan ekspresi orang

F.       Persepsi Kemampuan Bicara
Saat mempersepsi bicara, sistem pendengaran kita menerjemahkan getaran-getaran suara menjadi suatu rangkaian yang kita persepsikan sebagai sebagai suatu “speech”. Terdapat proses yang kompleks dalam pemprosesan ini. Contohnya, orang dewasa menghasilkan lima belas suara setiap detiknya (Kuhl, 1994) yang berarti pendengar mempersepsi 900 suara setiap menitnya. Selama mempersepsi kata pun, pendengar harus membedakan terlebih dahulu pola suara dari satu kata dari banyak pola yang tersimpan dalam memori. Belum lagi, pendengar harus memisahkan suara pembicara dengan berbagai suara lain di sekitarnya. Faktanya, sungguh luar biasa kemampuan manusia dalam memepersepsi bicara.
Ada dua aspek yang dibahas dalam persepsi bicara, yaitu karakteristik pada persepsi bicara dan teori-teori persepsi bicara.
1.      Karakteristik pada Persepsi Bicara        
·           Variabilitas dalam pengucapan fonem
                        Fonem merupakan satuan bunyi terkecil yang mampu menunjukan kontras makna. Misalnya, huruf h adalah fonem yang membedakan makna kata harus dan arus. Selain itu, setiap orang juga memiliki pitch dan tone yang berbeda-beda ketika bicara, begitu halnya dengan pemproduksian fonem. Untung saja, manusia mampu mendapatkan informasi tentang setiap fonem dalam memori. Informasi itulah yang menolong manusia agar mampu merasakan pengucapan fonem-fonem pembicara. Selain itu, seringkali pembicara tidak berhasil mengucapkan suatu fonem dengan cara yang tepat, misalnya spouse dan suppose. Kedua kata tersebut memiliki makna yang berbeda. Namun, akan berlainan ketika pembicara salah mengucapkan fonem yang membedakan kedua kata tersebut. Selanjutnya ada coarticulation, yang artinya ketika mengucapkan suatu fonem, mulut pembicara mempersiapkan fonem sesudahnya dan masih dalam posisi fonem sebelumnya secara bersamaan. Misalnya fonem d pada kata idle dan down. Pengucapan fonem d berbeda karena dalam kata idle dan down, huruf d dikelilingi oleh kata yang berbeda.
      Konteks dan Persepsi Bicara
                        Seperti dalam persepsi visual, proses top-down juga mempengaruhi persepsi kita pada bicara. Phonemic restoration adalah suatu keadaan dimana kita masih dapat menangkap fonem yang hilang atau tidak terdengar dengan jelas menggunakan konteks sebagai petunjuknya. Misalnya, saya besok akan pergi ke kebun binatang, tetapi ternyata pendengar tidak mendengar huruf a atau hanya mendengar bintang. Namun, karena konteks pembicaraan adalah pergi ke kebun, maka pendengar secara otomatis mempersepsi apa yang sebetulnya ia dengar bintang menjadi kata yang sebenarnya pembicara ucapkan yaitu binatang. Keadaan ini adalah salah satu ilusi, dimana kita merasa bahwa kita mendengarkan fonem, walaupun sebenarnya suara yang benar tidak sampai pada telinga kita.
      Batasan Kata
                        Batas kata menjadi salah satu hal penting dalam membantu kita mempersepsi ucapan karena disaat kita mendengar ucapan dari orang yang berbahasa asing. Kata-kata seakan mengalir bersama tanpa jeda. Tetapi jika kita mengerti bahasa tersebut, kita akan mampu membatasi frasa-frasa yang diucapkan karena sistem kita menggunakan pengetahuan yang kita miliki tentang bahasa untuk membuat batasan-batasan pada lokasi yang tepat.
      Petunjuk-petunjuk Visual
                        Dalam mempersepsi ucapan atau bicara kita sangat memerlukan petunjuk-petunjuk visual, seperti gerakan mulut saat berbicara. Ini disebabkan karena, bila kita sedang mendengarkan ucapan dengan adanya petunjuk visual seperti gerakan mulut sang pembicara maka kita akan lebih akurat dalam mempersepsi ucapan tersebut dibandingkan dengan hanya mendengar suara dari sang pembicara. Berkenaan tentang ini, ada salah satu teori yang cukup menjelaskan yaitu McGurk effect. Dalam teori ini dilakukan percobaan dimana seorang responden ditayangkan sebuah video gerakan mulut yang berkata “gag” sedangkan speaker megeluarkan suara “bab”, setelah ditanyakan hasilnya pada responden, ia menjawab bahwa apa yang dia dengar adalah “dad”.

2.      Teori pada Persepsi Bicara
Ada dua kategori teori dalam persepsi bicara atau ucapan, yaitu :
·         Pendekatan mekanisme spesial
            Pada kategori ini, para ilmuwan mengatakan bahwa pasti ada mekanisme yang spesial yang dapat menjelaskan keluarbiasaan kemampuan kita dalam mempersepsi ucapan atau bicara, yang disebut phonetic module.
·         Pendekatan mekanisme umum
Pendekatan ini menyatakan bahwa mekanisme neural manusia mempersepsi bicara (speech) sama dengan ketika manusia mempersepsi nonspeech. Penelitian baru-baru ini juga menunjukkan bahwa potensial elektrik pada otak menunjukkan perubahan yang sama, baik ketika manusia mendengar speech maupun nonspeech. Selain itu, persepsi bicara lebih fleksible dibandingkan dengan apa yang diajukan oleh pendekatan mekanisme khusus.


G.    Penerapan Top-Down  dan Bottom-Up dalam Pendidikan
·         Top-Down
Penerapan Top-Down dalam pembelajaran salah satunya pada proses pendahuluan dalam pembelajaran yang sering dikenal dengan apresepsi, proses ini dimulai dengan memberikan contoh yang lebih umum dalam kehidupan sehari-hari sehingga siswa mendapatkan konsep khusus yang akan dipelajari. Contoh: seorang guru ingin mengajarkan konsep fisika tentang tekanan, maka guru tersebut memberikan contoh misalnya jika pengguna sepatu high heel dengan pengguna sandal jepit menginjak kaki kita mana yang lebih teras sakit, dari proses umum ini siswa dapat memahami konsep yang lebih khusus yaitu luas permukaan berpengaruh terhadap tekanan yang dihasilkan. 
Selain contoh penerapan Teori Top-Down diatas, teori ini juga dikenal sebagai model psikolinguistik dalam membaca dan teori ini dikembangkan oleh Goodman (1976). Model ini memandang kegiatan membaca sebagai bagian dari proses pengembangan skemata seseorang yakni pembaca secara stimultan (terus-menerus) menguji dan menerima atau menolak hipotesis yang ia buat sendiri pada saat proses membaca berlangsung. Pada model ini, informasi grafis hanya digunakan untuk mendukung hipotesa tentang makna. Pembaca tidak banyak lagi membutuhkan informasi grafis dari bacaan karena mereka telah memiliki modal bacaan sendiri untuk mengerti bacaan. Proses membaca model ini dimulai dengan hipotesis dan prediksi-prediksi kemudian memverifikasinya dengan menggunakan stimulus yang berupa tulisan yang ada pada teks. Inti dari model teori Top-down adalah pembaca memulai proses pemahaman teks dari tataran yang lebih tinggi. Pembaca memulai tahapan membacanya dengan membaca prediksi-prediksi, hipotesis-hipotesis, dugaan-dugaan berkenaan dengan apa yang mungkin ada dalam bacaan, bermodalkan pengetahuan tentang isi dan bahasa yang dimilikinya, Untuk membantu pemahaman dengan menggunakan teori ini, pembaca menggunakan strategi yang didasarkan pada penggunaan petunjuk semantik dan sintaksis, artinya untuk mendapatkan makna bacaan, pembaca dapat menggunakan petunjuk tambahan yang berupa kompetensi berbahasa yang ia miliki. Jadi, kompetensi berbahasa dan pengetahuan tentang apa saja memainkan peran penting dalam membentuk makna bacaan. Jadi menurut teori Top-down dapat disimpulkan bahwa pengetahuan, pengalaman dan kecerdasan pembaca diperlukan sebagai dasar dalam memahami bacaan.

Model Teori Bottom-Up
Memandang bahwa bahasa yang mewadahi teks menentukan pemahaman. Secara fisik, ketika orang melakukan kegiatan membaca, yang dipandang adalah halaman-halaman bacaan yang posisinya di bawah (kecuali membaca sambil tiduran!). Secara literal, bottom-up berarti dari bawah ke atas. Maksudnya, makna itu berasal dari bawah (teks) menuju ke atas (otak/kepala). Secara harfiah, menurut teori ini teks-lah yang menentukan pemahaman. Inti proses membaca menurut teori ini adalah proses Pengkodean kembali simbol tuturan tertulis (Harris & Sipay, 1980). Membaca dalam proses bottom-up merupakan proses yang melibatkan ketepatan, rincian, dan rangkaian persepsi dan identifikasi huruf-huruf, kata-kata, pola ejaan, dan unit bahasa lainnya. Tugas utama pembaca menurut teori ini adalah mengkode lambang-lambang yang tertulis menjadi bunyi-bunyi bahasa. Pada proses bottom-up membaca terlebih dahulu mengetahui berbagai tanda linguistik, seperti huruf, morfem, suku kata, kata-kata frasa, petunjuk gramatika dan tanda wacana, kemudian menggunakan mekanisme pemrosesan yang masuk akal, koheren dan bermakna.Agar bisa memahami bacaan pada teori ini, pembaca membutuhkan keterampilan yang berhubungan dengan lambang bahasa yang digunakan dalam teks.



BAB III
SIMPULAN


Berdasarkan hasil pemaparan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Perbedaan sensasi dan persepsi
·         Sensasi adalah menangkap stimuli dan tahap paling awal dalam penerimaan informasi sedangkan
·         persepsi adalah proses memberi makna pada sensasi sehingga manusia memperoleh pengetahuan baru. Dengan kata lain persepsi mengubah sensasi menjadi informasi.
2.      Gangguan-gangguan persepsi
·         Ilusi
·         halusinasi
3.      Latar belakang pengenalan objek visual
a.       System visual
Informasi eksternal dari lingkungan masuk iconic memory (visual sensory memory) dari retina melalui pathway menuju primary cortex visual selanjutnya menuju ke infeotemporal dan terbentuklah rangsangan visual. Rangsangan visual yang terbentuk dikombinasikan dengan pengetahuan yang telah tersimpan maka terjadilah persepsi
b.      Organisasi dalam persepsi visual
Salah satu pendekatan Pengenalan objek yang dimiliki oleh manusia dikenal dengan teori gestalt psychology yang menyatakan manusia memiliki kecendrungan dasar untuk mengenali apa yang mereka lihat, tampa usaha yang cukup berarti. Dalam teori  gestalt psychology dikenal adanya figure-ground
c.       3 teori dalam pengenalan objek visual
a.       Teori Template-matching yaitu membandingkan rangsangan dengan templet sampai menemukan kecocokan
b.      Teoari feathure-analysis menyatakan bahwa stimulus visual merupakan komponen dan karakteristiknsama dengan ciri benda, teori ini lebih dikenal dengan teori ciri beda
c.       Teori recognition by component menyatakan bahwa objek-objek yang ada didalam memori kita merupakan sebuah penyusunan dari bentuk 3 dimensi yang disebut geon.
4.      Pengolah Top-Donw dan pengolahan objek visual
a.       Perbedaan antara Bottom-Up dan Top-Down adalah, Bottom-up menekankan pada pentingnya stimulus dalam pengenalan objek, Yakni lebih kepada sensori resptor, dimana terjadi masuknya semua informasi dari objek terutama informasi mengenai karakteristik objek tersebut. Informasi tersebut membentuk sebuah pergerakan proses dari level yang paling bawah (bottom) dan bekerja dengan cara up hingga mencapai proses kognitif di luar konteks visual primer. Sedangkan top-down, yang menekankan pada bagaimana konsep serta tingginya level mental seseorang berpengaruh dalam pengenalan sebuah objek. Konsep, ekspektasi, dan memorilah yang membantu dalam pengenalan objek
5.      Persepsi wajah
¡  Bagian otak yang menerima persepsi wajah berbeda. Lokasi yang paling bertanggung jawab untuk pengenalan wajah adalah korteks temporal. Lokasi tersebut lebih tepatnya dikenal sebagai korteks inferotemporal, di bagian bawah dari korteks temporal. Salah satu Penelitian tentang korteks inferotemporal ini pernah dilakukan oleh Rolls dan Tovee (1995). Penerapan penelitian pada pengenalan wajah dilakukan pada
§  Pertimbangan kasir tentang foto ID (Kemp and collagues 1997)
§  Sistem Pengawasan Keamanan (Burton and collagues 1999)
6.      Pesepsi kemampuan bicara
a.       Karakteristik dari persepsi kemampuan bicara
·       Variabilitas dalam pengucapan fonem
·       Karakteristik dan persepsi bicara
·       Batas kata
·       Petunjuk-petunjuk visual
b.      Teori dari persepsi kemampuan bicara
·       Pendekatan mekanisme special
·       Pendekatan mekanisme khusus
7.      Penerapan Top-Down dan Bottom-Up dilakukan pada proses membaca dan proses apresepsi pada proses pendahuluan belajar 



















DAFTAR PUSTAKA

Bentin, S.,et al. (2002). Primiting visual face-processing mechanisme: Electrophysiological evidence. Psychological Science, 13, 190-193

Borton, A. M., Wilson, S., Cowan, M., & Bruce, V. (1999). Face Recognition in Poor-qualiti Video: eviden from security surveillance. Psychologycal Science, 10, 243-248.

Farah, M. J. (2000a). The Cognitive Neuroscience of Vision. Malden, MA: Blackwell

Frisman, L. J. (2001). Basic Visual Processes. In E. B. Goldstein (ED), Backwell bandbook of perception (pp.53-91). Malden, MA: Blackwell.

Kosslyn, S. M. (2001). Visual Consciousness. Advances in Consciousness Research, 8, 79-103

Kuhl, P. K. (1994). Learning and representation in speech and language. Current opinion in Neurobiology, 4, 812-822.

http://2.bp.blogspot.com/- 0ewMnU0xgGc/TigfPEnMsPI/AAAAAAAAAb8/bmiw1oBzVE8/ s1600/ pareidolia-dog. jpg

http://farm2.static.flickr.com/1023/1400347678_5c4d9b14c1.jpg


0 comments:

Post a Comment