LANDASAN SOSIOLOGI
DAN ANTROPOLOGI PENDIDIKAN
Pendahuluan
antropologi pendidikan antara lain
membahas tentang konsep pendidikan dalam konteks masyarakat dan kebudayaannya,
hubungan antara pendidikan dan masyarakat, hubungan pendidikan dan
kebudayaannya serta berbagai lingkungan pendidikan yang ada di dalam
masyarakat. Sebab itu, kajian tentang landasan dan antropologi ini dipandang
penting bagi para pendidik, khususnya bagi para guru.
PENDIDIKAN: SOSIALISASI DAN
ENKULTURASI
1. Individu, Masyarakat, dan Kebudayaan
Salah satu konsep yang kaji dalam tersebut yaitu hakikat manusia
sebagai individu. Sebagaimana telah pelajari bahwa individu adalah manusia
perseorangan yang memiliki karakteristik sebagai kesatuan yang tak dapat
dibagi, memiliki perbedaan dengan yang lainnya sehingga bersifat unik, serta
bebas mengambil keputusan atau tindakan atas pilihan dan tanggung jawabnya
sendiri (otonom). Masyarakat didefinisikan oleh Ralph Linton sebagai
"setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga
mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai satu kesatuan
sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas". Sejalan dengan definsi
dari Ralph Linton, Selo Sumardjan mendefinisikan masyarakat sebagai “orang-orang
yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan” (Soerjono Soekanto, 1986). Mengacu
kepada dua definisi tentang masyarakat seperti dikemukakan di atas, Anda dapat
mengidentifikasi empat unsur yang mesti terdapat di dalam masyarakat, yaitu:
1) Manusia (individu-individu) yang
hidup bersama,
2) Mereka melakukan interaksi sosial
dalam waktu yang cukup lama.
3) Mereka mempunyai kesadaran
sebagai satu kesatuan.
4) Mereka merupakan suatu sistem
hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan,sehingga setiap individu di dalamnya
merasa terikat satu dengan yang lainnya.
Dalam hidup bermasyarakat manusia
menghasilkan kebudayaan. Kebudayaan adalah "keseluruhan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan belajar" (Koentjaraningrat, 1985). Ada
tiga jenis wujud kebudayaan, ketiga wujud kebudayaan tersebut adalah:
1) Wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan-peraturan,
dsb.
2) Wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia
dalam masyarakat.
3) Wujud kebudayaan sebagai
benda-benda hasil karya manusia.
Terdapat hubungan dan saling
mempengaruhi antara individu, masyarakat dan kebudayaannya. Individu, masayarakat dan
kebudayaannya tak dapat dipisahkan. Hal ini sebagaimana Anda maklumi bahwa
setiap individu hidup bermasyarakat dan berbudaya, adapun masyarakat itu
sendiri terbentuk dari individu-individu. Masyarakat dan kebudayaan
mempengaruhi individu, sebaliknya masyarakat dan kebudayaan dipengaruhi pula
oleh individu-individu yang membangunnya.
Struktur Sosial, Status, dan
Peranan. Apabila kita pelajari, di dalam masyarakat terdapat struktur sosial,
Komblum mendefinisikannya sebagai pola perilaku berulang-ulang yang menciptakan
hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat. Dalam struktur
sosial tersebut setiap individu mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role)
tertentu. Status adalah kedudukan seseorang di dalam suatu struktur sosial.
Misal, di dalam struktur organisasi madrasah seseorang mungkin berkedudukan sebagai
kepala madrasah, sebagai guru, sebagai siswa, dsb. Adapun menurut Ralph Linton
status adalah suatu kumpulan hak dan kewajiban (a collection of rights and duties)
seseorang sesuai dengan kedudukannya. Sedangkan peranan adalah berbagai hal yang
harus dilakukan oleh individu sesuai dengan kedudukannya. Peranan pada dasarnya
merupakan aspek dinamis dari suatu status. Seseorang dikatakan melaksanakan peranannya
apabila ia melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan statusnya. Status dibedakan
menjadi dua macam, yaitu: (1) status yang diperoleh sejak lahir atau diberikan kepada
individu (ascribed status), (2) status yang diraih, yaitu status yang
memerlukan kualitas tertentu yang diraih melalui upaya tertentu atau persaingan
(achieved status) (Kamanto Sunarto, 1993). Contoh ascribed status antara lain:
status sebagai anak, status sebagai laki-laki, perempuan, dsb. Sedangkan contoh
achieved status antara lain: juara kelas, sarjana pendidikan, guru sekolah
dasar, dsb.
Untuk mencapau tujuan-tujuannya,
atau dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, setiap individu maupun
kelompok melakukan interaksi sosial. Dalam interaksi sosial tersebut mereka
melakukan berbagai tindakan sosial, yaitu
perilaku individu yang dilakukan dengan mempertimbangkan dan berorientasi kepada
perilaku orang lain untuk mencapai tujuan tertentu. Tindakan sosial yang dilakukan
individu hendaknya sesuai dengan status dan peranannya, dan diharapkan sesuai
pula dengan kebudayaan masyarakatnya. Masyarakat menuntut hal tersebut tiada lain
agar tercipta konformitas dan homogenitas. Konformitas yaitu bentuk interaksi
yang di dalamnya setiap individu berperilaku terhadap individu lainnya sesuai
dengan yang diharapkan kelompok atau masyarakat, sedangkan homogenitas yaitu
adanya kesamaan dalam nilai, harapan, norma dan perilaku individu-individu di
dalam masyarakatnya. Dalam konteks interaksi sosial, apabila tindakan-tindakan
sosial yang dilakukan individu tidak sesuai dengan sistem nilai dan norma atau
kebudayaan masyarakatnya, maka individu yang bersangkutan akan dipandang
melakukan penyimpangan tingkah laku atau penyimpangan social (deviant behavior
atau social deviant). Terhadap pelaku penyimpangan tingkah laku atau penyimpangan
sosial tersebut masyarakat akan mengucilkannya, bahkan melakukan pengendalian
sosial (social control), yaitu apa yang
didefinisikan Peter L. Berger
sebagai "berbagai cara yang digunakan masyarakat untuk menertibkan
anggotanya yang membangkang" (Kamanto Sunarto, 1993).
2. Sosialisasi dan Enkulturasi
sebagai Pendidikan
Upaya Mempertahankan Kelangsungan
Eksistensi Masyarakat dan Kebudayaan. Salah satu unsur masyarakat adalah adanya
interaksi sosial. Interaksi sosial antara lain mengimplikasikan reproduksi
sehingga masyarakat menghasilkan keturunan. Dengan memiliki keturunan berarti
masyarakat memiliki generasi muda yang akan menjadi generasi penerusnya. Dengan
tujuan agar tetap tercipta konformitas dan homogenitas di dalam masyarakat, dan
untuk menjaga kelangsungan eksistensi masyarakat serta kebudayaannya, maka
terhadap generasi mudanya masyarakat melakukan sosialisasi (socialization) dan
enkulturasi (enculturation). Manusia berbeda dengan khewan yang seluruh
perilakunya dikendalikan oleh naluri yang diperoleh sejak kelahirannya. Saat
kelahirannya, anak manusia dalam keadaan tak berdaya, karena naluri yang dibawa
ketika kelahirannya relatif tidak lengkap. Anak manusia yang baru lahir,
sekalipun ia telah mempunyai ascribed status (sebagai anak), namun ia belum
tahu status dan peranannya itu. Ia juga belum tahu dan belum mampu melaksanakan
berbagai status dan peranan lainnya di dalam masyarakat yang harus diraihnya
(achieved status). Demikian pula mengenai kebudayaan masyarakatnya. Ia belum
memiliki sistem nilai, norma, pengetahuan, adat kebiasaan, serta belum mengetahui
dan belum dapat menggunakan dengan tepat berbagai benda sebagai hasil karya
masyarakatnya. Anak manusia harus belajar dalam waktu yang relatif lebih
panjang untuk mampu melaksanakan berbagai peranan sesuai statusnya dan sesuai
kebudayaan masyarakatnya. Berbagai peranan harus dipelajari oleh anak (individu
anggota masyarakat) melalui proses sosialisasi; adapun mengenai kebudayaan
perlu dipelajarinya melalui enkulturasi. Jika anak tidak mengalami sosialisasi
dan/atau enkulturasi, maka ia tidak akan dapat berinteraksi sosial, ia tidak
akan dapat melakukan tindakan sosial sesuai status dan peranannya serta
kebudayaan masyarakatnya. Apabila ditinjau dari sudut masyarakat, sosialisasi dan
enkulturasi merupakan fungsi masyarakat dalam rangka mengantarkan setiap individu
- khususnya generasi muda - ke dalam kehidupan bermasyarakat dan berbudaya. Adapun
jika ditinjau dari sudut individu, dalam proses sosialisasi dan enkulturasi
setiap individu sesuai dengan statusnya dituntut untuk belajar tentang berbagai
peranan dalam konteks kebudayaan masyarakatnya, sehingga mereka mampu hidup
bermasyarakat dan berbudaya.
Menurut Peter L. Berger
"sosialisasi adalah suatu proses dimana anak belajar
menjadi seorang anggota yang
berpartisipasi dalam masyarakat" (Kamanto Sunarto,
1993). Yang dipelajari individu
melalui sosialisasi ini adalah peranan-peranan. Dalam
proses sosialisasi individu belajar
untuk mengetahui peranan yang harus dijalankannya serta peranan-peranan yang
harus dijalankan orang lain. Melalui penguasaan perananperanan yang ada dalam
masyarakat ini individu akan dapat berinteraksi dengan orang lain. Sedangkan
enkulturasi adalah suatu proses dimana individu belajar cara berpikir, cara
bertindak, dan merasa yang mencerminkan kebudayaan masyarakatnya. Herkovits menyatakan
bahwa sosialisasi menunjukkan proses pengintegrasian individu ke dalam sebuah
kelompok sosial, sedangkan enkulturasi adalah proses perolehan kompetensi budaya
untuk hidup sebagai anggota kelompok (Imran Manan,1989).
Dalam uraian di atas Anda melihat
bahwa definisi sosialisasi yang digunakan
dalam sosiologi tampak memiliki arti
yang berbeda dengan definisi dan makna
enkulturasi yang digunakan dalam
antropologi. Definisi sosialisasi menekankan kepada
pengambilan peranan, sedangkan
definisi enkulturasi menekankan kepada perolehan
kompetensi budaya. Namun dalam
kehidupan yang riil, sesunguhnya di dalam sosialisasi
itu inherent (melekat) juga
kebudayaan. Sebab, kebudayaanlah yang menentukan arah
dan cara-cara sosialisasi yang
dilaksanakan oleh masyarakat. Karena itu di dalam proses
sosialisasi sebenarnya terjadi juga
proses enkulturasi (pembudayaan), yang mana "di
dalam enkulturasi ini seorang
individu mempeIajari dan menyesuaikan alam pikiran serta
sikapnya dengan adat istiadat,
sistem norma, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam
kebudayaanya"
(Koentjaraningrat, 1985). Demikian pula sebaliknya, bahwa di dalam
enkulturasi sesungguhnya terjadi
juga proses sosialisasi.
Pendidikan. Dalam BBM 1 Kegiatan
Belajar 3 antara lain telah dikemukakan,
bahwa pendidikan diupayakan agar
peserta didik mampu hidup bermasyarakat dan
berbudaya. Sehubungan dengan itu,
apabila ditinjau dari sudut pandang sosiologi,
pendidikan identik dengan
sosialisasi, sedangkan apabila ditinjau dari sudut pandang
antropologi, pendidikan identik
dengan enkulturasi. Karena di dalam proses sosialisasi
hakikatnya terjadi juga proses
enkulturasi, dan sebaliknya bahwa di dalam proses
enkulturasi juga terjadi proses
sosialisasi, dalam konteks ini maka pendidikan hakikatnya
meliputi sosialisasi dan
enkulturasi.
Latihan
Setelah selesai mempelajari uraian
materi pada kegiatan belajar ini, coba Anda
rumuskan: 1) empat unsur yang mesti
terdapat di dalam masyarakat; 2) definisi
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 150
sosialisasi; 3) definisi
enkulturasi; dan 4) tujuan diselenggarakannya sosialisasi dan
enkulturasi (pendidikan) oleh
masyarakat.
Petunjuk Jawaban Latihan
Untuk dapat menjawab tugas latihan
nomor 1) Anda perlu mengacu kepada
pengertian/definisi masyarakat dari
Ralph Linton dan Selo Sumardjan. Untuk dapat
menjawab tugas latihan nomor 2) dan
nomor 3) Anda dapat mengacu kepada
pengertian “pemasyarakatan” dan
“pembudayaan”; adapun untuk dapat menjawab
tugas latihan nomor 4) Anda dapat
mengacu kepada kepentingan terciptanya
konformitas, homogenitas serta
kelangsungan masyarakat dan kebudayaannya.
Rangkuman
Setiap individu hidup di dalam
masyarakat dan kebudayaannya. Antara individu,
masyarakat dan kebudayaan pada
dasarnya tak dapat dipisahkan dan terdapat hubungan
pengaruh-mempengaruhi.
Di dalam masyarakat terdapat
struktur sosial. Dalam struktur sosial tersebut
setiap individu mempunyai kedudukan
(status) dan peranan (role) tertentu. Status
dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
(1) ascribed status, dan (2) achieved status.
Seseorang dikatakan melaksanakan
peranannya jika ia melaksanakan hak dan kewajiban
sesuai dengan statusnya.
Dalam rangka memenuhi berbagai
kebutuhan atau untuk mencapai tujuantujuannya,
setiap individu maupun kelompok
melakukan interaksi sosial. Dalam interaksi
sosial tersebut mereka melakukan
berbagai tindakan sosial. Tindakan sosial yang
dilakukan individu hendaknya sesuai
dengan status dan peranannya, dan diharapkan
sesuai pula dengan kebudayaan
masyarakatnya agar tercipta konformitas dan
homogenitas. Terhadap pelaku
penyimpangan tingkah laku atau penyimpangan sosial
masyarakat akan melakukan
pengendalian sosial (social controll).
Dengan tujuan agar tetap tercipta
konformitas dan homogenitas di dalam
masyarakat, serta untuk menjaga
kelangsungan eksistensi masyarakat dan
kebudayaannya, maka terhadap
generasi mudanya masyarakat melakukan sosialisasi
(socialization) dan/atau enkulturasi
(enculturation).
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 151
Apabila ditinjau dari sudut pandang
sosiologi, pendidikan identik dengan
sosialisasi, sedangkan apabila
ditinjau dari sudut pandang antropologi, pendidikan
identik dengan enkulturasi. Dalam
kehidupan yang riil antara sosialisasi dan enkulturasi
akan sulit untuk dapat dipisahkan,
sebab di dalam proses sosialisasi hakikatnya terjadi
juga proses enkulturasi, sebaliknya,
bahwa di dalam proses enkulturasi juga terjadi proses
sosialisasi. Sehubungan dengan itu,
maka hendaknya dipahami bahwa pendidikan
hakikatnya meliputi sosialisasi dan
enkulturasi.
PENDIDIKAN, MASYARAKAT DAN KEBUDAYAN
Dalam kegiatan belajar ini ada tiga
pokok bahasan yang akan Anda kaji, yaitu:
Pendidikan sebagai pranata sosial;
Pendidikan dan masyarakat; Pendidikan dan
kebudayaan. Kajian dalam pokok bahasan
pertama meliputi definisi pranata sosial, jenis-jenis
pranata sosial, dan pranata
pendidikan sebagai pranata sosial. Kajian dalam pokok
bahasan kedua meliputi hubungan
antara pendidikan dan ekonomi, hubungan pendidikan
dan mobilitas sosial, hubungan
pendidikan dan stratifikasi sosial, serta implikasinya
terhadap peranan guru. Adapun kajian
dalam pokok bahasan ketiga meliputi enkulturasi
dalam rangka transmisi dan perubahan
kebudayaan; pandangan Superorganik,
Konseptualis, dan Realis tentang
kebudayaan dan implikasinya terhadap pandangan
tentang pendidikan; serta fungsi
pendidikan dalam masyarakat dan kebudayaannya.
Dengan demikian, setelah mempelajari
kegiatan belajar ini, Anda diharapkan dapat
menjelaskan pengertian pendidikan
sebagai pranata sosial, hubungan pendidikan dengan
masyarakat, serta hubungan dan
fungsi pendidikan dengan masyarakat dan
kebudayaannya.
1. Pendidikan sebagai Pranata Sosial
Pranata Sosial. Menurut Theodorson
pranata sosial (social institution) adalah
suatu sistem peran dan norma sosial
yang saling berhubungan dan terorganisasi disekitar
pemenuhan kebutuhan atau fungsi
sosial yang penting (Sudarja Adiwikarta,1988).
Komblum menggunakan istilah
institusi untuk menjelaskan pranata sosial, ia
mendefinisikannya sebagai
"suatu struktur status dan peranan yang diarahkan kepada
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar
anggota masyarakat" (Kamanto Sunarto, 1993).
Adapun Koentjaraningrat (1984),
dalam definisinya tentang pranata secara tersurat
menyebutkan juga peralatan-peralatan
dan manusia-manusia yang melaksanakan
peranan-peranan itu. Redaksi
berbagai definisi pranata sebagaimana disajikan di atas
memang berbeda-beda, namun demikian
pada dasarnya mengandung pengertian yang
relatif sama. Esensinya dapat Anda
pahami bahwa pranata sosial merupakan suatu sistem
aktivitas yang khas dari suatu
kelakuan berpola; aktivitas yang khas ini dilakukan oleh
berbagai individu atau manusia yang
mempunyai status dan peran masing-masing yang
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 154
saling berhubungan atau mempunyai
struktur; mengacu kepada sistem ide, nilai dan
norma atau tata kelakuan tertentu;
dilakukan dengan menggunakan berbagai peralatan;
dan aktifitas khas ini berfungsi
untuk memenuhi kebutuhan dasar anggota masyarakat.
Pendek kata, pranata sosial adalah
perilaku terpola yang digunakan oleh suatu
masyarakat untuk memenuhi berbagai
kebutuhan dasarnya.
Jenis Pranata Sosial. Individu dan
masyarakat mempunyai berbagai kebutuhan
dasar (basic needs), misalnya:
kebutuhan akan metabolisme, reproduksi, keamanan,
kesehatan, dsb. Kebutuhan-kebutuhan
dasar ini akan dipenuhi dalam bentuk respons
budaya penyediaan makanan,
kekerabatan, perlindungan, pendidikan, dsb. Responsrespons
ini akan memiliki kesamaan polanya
dalam suatu masyarakat tertentu. Pola
respons yang terstandar itu disebut
pranata sosial. Terdapat berbagai pranata sosial,
antara lain: pranata ekonomi,
pranata politik, pranata agama, pranata pendidikan, dsb.
Pranata pendidikan. Pranata
pendidikan adalah salah satu pranata sosial dalam
rangka proses sosialisasi dan/atau
enkulturasi untuk mengantarkan individu ke dalam
kehidupan bermasyarakat dan
berbudaya, serta untuk menjaga kelangsungan eksistensi
masyarakat dan kebudayaannya.
Melalui pranata pendidikan sosialisasi dan/atau
enkulturasi diselenggarakan oleh
masyarakat, sehingga dengan demikian eksistensi
masyarakat dan kebudayaanya dapat
bertahan sekalipun individu-individu anggota
masyarakatnya berganti karena
terjadinya kelahiran, kematian, dan/atau perpindahan.
Sebagai pranata sosial, pranata
pendidikan berada di dalam masyarakat dan
bersifat terbuka. Sebab itu, pranata
pendidikan mengambil masukan (input) dari
masyarakat dan memberikan
keluarannya (out put) kepada masyarakat. Contoh: Para
pendidik dan peserta didik dalam
suatu pranata pendidikan masukkannya berasal dari
penduduk masyarakat itu sendiri;
Tujuan pendidikan dirumuskan berdasarkan masukan
dari sistem nilai, harapan dan
cita-cita masyarakat yang bersangkutan; dsb. Sebaliknya,
masyarakat menyediakan atau
memberikan sumber-sumber input bagi pranata pendidikan
dan menerima out put dari pranata
pendidikan. Contoh: di dalam masyarakat terdapat
penduduk, sistem nilai, sistem
pengetahuan, dsb., hal ini merupakan sumber input yang
disediakan masyarakat bagi pranata
pendidikan. Tetapi masyarakat pun (misalnya suatu
perusahaan) menerima lulusan dari
pranata pendidikan (sekolah atau perguruan tinggi)
untuk diangkat sebagai pegawai atau
karyawan), dsb.
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 155
Selain pranata pendidikan, di dalam
masyarakat terdapat pula pranata-pranata
lainnya, seperti pranata ekonomi,
pranata politik, dst. Berkenaan dengan ini perlu Anda
pahami bahwa “terdapat hubungan
antara pranata pendidikan dengan pranata-pranata
lainnya yang ada di dalam
masyarakat, bahkan juga terdapat hubungan saling
mempengauhi antara pranata
pendidikan dengan masyarakat secara keseluruhan sebagai
supra sistem yang melingkupinya”.
2. Pendidikan dan Masyarakat
a. Hubungan Pendidikan dan Ekonomi.
Explosion of Education. Sejarah
menunjukkan bahwa pendidikan pada awalnya
diselenggarakan secara informal di
dalam keluarga dan diselenggarakan secara nonformal
di dalam masyarakat. Selanjutnya,
pendidikan diselenggarakan juga secara formal di
sekolah. Bahkan sebagaimana Anda
maklumi, belakangan ini dunia pendidikan
mengalami perkembangan yang pesat
luar biasa. Perkembangan tersebut antara lain
berkenaan dengan jumlah lembaga
pendidikannya (baik jumlah lembaga pendidikan anak
usia dini, lembaga pendidikan dasar,
lembaga pendidikan menengah dan lembaga
pendidikan tinggi); peningkatan
jenjang pendidikan untuk suatu jabatan atau profesi
tertentu ( misal: dulu untuk menjadi
guru Sekolah Dasar cukup lulusan dari Sekolah
Pendidikan Guru (SPG) yang sederajat
dengan pendidikan menengah atas, lalu
ditingkatkan menjadi Diploma 2, dan
sekarang harus Strata 1); adanya peningkatan
aspirasi masyarakat mengenai
pentingnya pendidikan, dsb. Terhadap perkembangan
seperti itu Olive Banks menamakannya
sebagai “explosion of education” atau ledakan
pendidikan (Sudarja Adiwikarta,
1988).
Di samping terjadinya perkembangan
yang begitu pesat dalam dunia pendidikan
seperti dideskripsikan di atas,
belakangan terjadi pula perkembangan di bidang ekonomi.
Perkembangan ekonomi antara lain
ditandai dengan diaplikasikannya teknologi yang
semakin canggih di bidang industri,
terbukanya lapangan kerja baru yang membutuhkan
keahlian dan manajemen tertentu,
dsb. Sehubungan dengan kedaan di atas, muncul
pertanyaan: apakah terdapat hubungan
antara keadaan pendidikan dengan keadaan
ekonomi suatu masyarakat ?
Hubungan Pendidikan dan Kehidupan
Ekonomi. Berkenaan dengan
permasalahan sebagaimana
dipertanyakan di atas, berdasarkan data-data yang diperoleh
dari berbagai sumber, Sudarja
Adiwikarta (1988) menyimpulkan adanya hubungan yang
ajeg dan positif antara derajat
pendidikan dengan kehidupan ekonomi, dalam arti makin
tinggi derajat pendidikan makin
tinggi pula derajat kehidupan ekonomi. Cukup banyak
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 156
bukti yang menunjukkan bahwa antara
keduanya terdapat hubungan saling
mempengaruhi, yaitu bahwa
pertumbuhan pendidikan mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan
ekonomi mempengaruhi pertumbuhan
pendidikan. Menyimak pernyataan di
atas, dapat Anda simpulkan adanya hubungan
timbal balik antara pertumbuhan
pendidikan dan pertumbuhan ekonomi. Namun
demikian, tidak diketahui dengan
jelas faktor mana yang muncul lebih dahulu yang
menjadi penyebab bagi faktor yang
lainnya, apakah pertumbuhan pendidikan yang
menyebabkan pertumbuhan ekonomi,
atau sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang
menyebabkan pertumbuhan pendidikan.
Dengan mengutip penjelasan dari
Parelius (1978) dan Knowles (1982), Sudarja
Adiwikarta (1988) mengemukakan bahwa
dalam sosiologi, konsep hubungan antara
pendidikan dan kehidupan ekonomi
seperti telah diuraikan di atas, mendapat dukungan
dari para penganut teori Konsensus
dan teori Konflik. Kedua penganut teori tersebut
memiliki kesamaan pandangan bahwa
fungsi utama institusi atau pranata pendidikan
dalam kaitannya dengan kehidupan
ekonomi adalah mempersiapkan para pemuda untuk
mengisi lapangan kerja produktif.
Adapun dalam hal pendidikan bagi orang dewasa,
tujuan yang hendak dicapai tentu
bukan lagi mempersiapkan kemampuan, melainkan
meningkatkannya agar peserta didik
dapat mampu menghadapi permasalahan yang ada
pada saat itu. Sebab itu, mereka
(peserta didik) mendapatkan pendidikan mental, sikap,
pengetahuan dan keterampilan yang
bermanfaat. Proses tersebut terjadi pada semua
masyarakat, mulai dari yang paling
tradisional sampai yang paling maju.
Untuk lebih memperjelas konsepsi di
atas, Anda sebaiknya mengkaji bagan
tentang peran pelaksana pendidikan
pada masyarakat tradisional dan modern dalam
hubungan dengan kehidupan ekonomi di
bawaah ini.
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 157
BAGAN
PERAN PELAKSANA PENDIDIKAN
PADA MASYARAKAT TRADISIONAL DAN
MODERN
DALAM HUBUNGAN DENGAN KEHIDUPAN
EKONOMI
LINGKUNGAN
PENDIDIKAN
EKONOMI
TRADISIONAL
EKONOMI
MODERN
KELUARGA Memegang peranan utama
dalam
menyiapkan anak agar secepat
mungkin mampu melaksanakan
ekonomi orang dewasa.Untuk itu
keluarga memberikan pendidikan
mental, nilai, sikap, pengetahuan
dan keterampilan yang
bermanfaat untuk kehidupan
ekonomi.
· Melakukan pengasuhan
dasar.
· Pada usia tertentu
menyerahkan pendidikan
kepada sekolah.
· Mendorong, membantu,
mengawasi anak dalam
belajar menurut sistem
persekolahan.
SEKOLAH · Mempersiapkan golongan
elite dengan kemampuan
dasar (baca, tulis hitung).
· Melakukan fungsi
selektif.
· Melakukan fungsi
alokatif.
· Menyiapkan ahli dalam
berbagai bidang
kehidupan.
· Melaksanakan fungsi
selektif.
· Melaksanakan fungsi
alokatif.
MASYARAKAT · Menyediakan model
untuk ditiru.
· Menyelenggarakan
latihan magang.
· Menyelenggarakan
upacara inisiasi.
· Menyelenggarakan
pendidikan orang dewasa
secara terorganisisr.
· Menyediakan media
komunikasi.
· Menyediakan arena
kompetisi.
Bagan dimodifikasi dari Bagan III.1
(Sudarja Adiwikarta, 1988:46-47).
b. Hubungan Pendidikan dan
Stratifikasi Sosial
Stratifikasi Sosial. Anda pasti
setuju bahwa diantara manusia hakikatnya
terdapat persamaan (equality). Anda
pun sering mendengar berbagai pernyataan
mengenai persamaan diantara sesama
anggota masyarakat. Sebaliknya, kenyataan
menunjukkan bahwa di manapun di
dalam suatu masyarakat selalu terdapat
ketidaksamaan (inequality) status
atau kedudukan anggota masyarakat. Ketidaksamaan
status ini mungkin dalam hal jabatan
pekerjaan, jenis pekerjaan, kekayaan, prestise,
tingkat pendidikan, dsb. Pembedaan
anggota masyarakat berdasarkan status yang
dimilikinya disebut stratifikasi
sosial (social stratification).
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 158
Kelas-kelas dalam Stratifikasi
Sosial. Ada berbagai jenis metode yang
digunakan para ahli sosiologi dalam
menentukan stratifikasi social, antara lain (1) metode
objektif, (2) metode subjektif, dan
(3) metode reputasi (S. Nasution, 1983). Melalui
metode objektif, stratifikasi sosial
ditentukan berdasarkan kriteria objektif yang antara
lain berkenaan dengan jumlah
pendapatan, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dsb.
Melalui metode subjektif
stratifikasi sosial ditentukan berdasarkan pandangan anggota
masyarakat sendiri dalam menilai
dirinya dalam hierarki kedudukan dalam
masyarakatnya. Sedangkan melalui
metode reputasi stratifikasi sosial ditentukan
berdasarkan bagaimana anggota
masyarakat menempatkan masing-masing dalam
stratifikasi masyarakat itu. Dalam
hal ini anggota masyarakat diberi kesempatan untuk
menentukan golongan-golongan sosial
yang terdapat dalam masyarakatnya, selanjutnya
mereka diminta untuk mengidentifikasi
anggota masing-masing golongan. Dalam
menentukan stratifikasi sosial
dengan menggunakan metode reputasi, W. Lloyd Warner
menemukan enam kelas atau golongan,
yaitu kelas atau golongan:“upper-upper, lowerupper,
upper-midle, lower-midle,
upper-lower, lower-lower” (golongan / kelas: atas-atas,
atas bawah, menengah atas, menengah
bawah, bawah atas, dan bawah bawah).
Stratifikasi sosial Tertutup dan
Terbuka. Dalam sosiologi dikenal pembedaan
antara stratifikasi sosial tertutup
dan stratifikasi sosial terbuka. Menurut J. MiltonYinger
suatu stratifikasi disebut tertutup
manakala setiap anggota masyarakat tetap berada pada
status yang sama dengan orang
tuanya. Adapun suatu stratifikasi disebut terbuka apabila
setiap anggota masyarakat memiliki
peluang untuk menduduki status yang berbeda
dengan orang tuanya, mungkin lebih
tinggi atau lebih rendah (Kamanto Sunarto, 1993).
Mobilitas Sosial. Di dalam sistem
stratifikasi sosial, setiap orang mempunyai
statusnya masing-masing, setiap
orang akan menduduki golongan atau kelasnya masingmasing.
Namun demikian, sebagaimana telah
Anda pahami bahwa di dalam stratifikasi
sosial terbuka, setiap orang
memiliki peluang untuk naik atau bahkan mungkin turun
statusnya/kelas/golongannya. Inilah
yang disebut mobilitas sosial. Contoh: Anak seorang
pedagang kaki lima (PKL) yang telah
menjadi sarjana tehnik dan mendapat pekerjaan
dengan penghasilan yang jauh lebih
besar dari penghasilan orang tuanya, akan
menduduki golongan yang lebih tinggi
daripada golongan yang diduduki orang tuanya
di dalam stratifikasi sosialnya.
Mobilitas sosial akan terus berlangsung, terbuka peluang
bagi seseorang untuk naik
status/golongan dalam tangga sosialnya. Sebaliknya, mereka
yang lahir dalam status/golongan
atas yang kurang memiliki motivasi dan usaha yang
keras untuk memperoleh pengetahuan,
sikap, mental, dan keterampilan yang dibutuhkan
untuk profesi tertentu, maka ia akan
dengan sendirinya akan turun status/golongan dalam
tangga sosialnya.
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 159
Stratifikasi sosial dan mobilitas
sosial yang terjadi di dalam masyarakat, telah
menarik perhatian para sosiolog,
mereka mempertanyakan hal tersebut dalam
hubungannya dengan pendidikan.
Adakah hubungan antara pendidikan dengan mobilitas
sosial ? Demikian halnya, mereka
mempertanyakan tentang hubungan antara pendidikan
dengan stratifikasi sosial.
Hubungan Pendidikan dan Mobilitas
Sosial. Dari uraian di atas Anda telah
memahami bahwa dalam masyarakat yang
memiliki sistem stratifikasi sosial terbuka
terdapat kesempatan bagi warganya
untuk naik dalam tangga sosialnya, demikian pula di
situ terbuka kemungkinan bagi
warganya untuk turun dalam tangga sosialnya. Sosiolog
bernama Ralph Turner mengakui adanya
mobilitas sosial vertikal seperti itu. Menurut
Turner, dalam masyarakat dengan
sistem stratifikasi sosial terbuka, pendidikan
dipandang sebagai suatu sarana
mobilitas sosial yang penting. Turner melihat pendidikan
sebagai pemegang fungsi mobilitas
sosial (Sudarja Adiwikarta, 1988). Pendidikan
dipandang sebagai jalan untuk mencapai
kedudukan yang lebih baik di dalam
masyarakat. Makin tinggi pendidikan
yang diperoleh seseorang makin besar harapan
untuk naik status dalam tangga
sosialnya. Sehubungan dengan ini S. Nasution (1983)
juga menyatakan bahwa “Pendidikan
dilihat sebagai kesempatan untuk beralih dari
golongan yang satu ke golongan yang
lebih tinggi. …. Pendidikan merupakan jalan bagi
mobilitas sosial”.
Hubungan Pendidikan dan Stratifikasi
Sosial. Banyak tokoh pendidikan yang
menaruh kepercayaan terhadap fungsi
pendidikan dalam rangka memperbaiki nasib
seseorang sehingga dapat naik
status/golongan dalam tangga sosialnya. Implikasinya,
muncul gagasan dan program perluasan
dan pemerataan kesempatan untuk mendapatkan
pendidikan. Dengan gagasan dan
program tersebut diharapkan dapat dicairkannya batasbatas
antar status/kelas/golongan dalam
tangga sosial yang ada. Diharapkan bahwa
kesempatan belajar yang sama
memerikan peluang bagi setiap anak untuk mendapatkan
pekerjaan yang dicita-citakannya.
Program wajib belajar atau pendidikan universal
memberikan kompetensi yang sama bagi
setiap orang dari semua status/golongan.
Dengan demikian, perbedaan sosial
akan dapat dikurangi, sekalipun mungkin tidak dapat
dihapuskan seluruhnya.
Permasalahannya, apakah dengan pendidikan tersebut stratifikasi
sosial dapat dihilangkan?
Melalui pembahasan tentang
sosialisasi dan enkulturasi dalam kegiatan belajar 1
Anda telah memahami konsep
konformitas dan homogenitas bukan? Dalam konteks ini,
masyarakat memerlukan terciptanya
homogenitas tertentu, jika tidak ada homogenitas
masyarakat tidak akan ada. Sebab
itu, dalam arti sebagai sosialisasi dan/atau enkulturasi,
pendidikan diselenggarakan
masyarakat agar tercipta homogenitas tersebut. Sebaliknya
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 160
dalam konteks permasalahan
sebagaimana dikemukakan pada alinea di atas (dalam
konteks stratifikasi sosial),
masyarakat justru memerlukan terciptanya heterogenitas
tertentu. Jika heterogenitas ini
tidak ada, maka masyarakat pun tidak akan ada. Karena
itu, menurut sosiolog bernama Emile
Durkheim, pendidikan bukan hanya memegang
peranan dalam proses sosialisasi
untuk terciptanya homogenitas, melainkan juga
memegang peranan dalam proses
seleksi untuk terciptanya heterogenitas. Untuk lebih
jelasnya, silahkan Anda kaji uraian
selanjutnya di bawah ini.
Sebagaimana dikemukakan Sudarja
Adiwikarta (1988), Emile Durkheim
berpendapat bahwa makin maju suatu
masyarakat maka akan terdapat pembagian kerja
(division of labor) yang menuntut
spesialisasi untuk bidang pekerjaan tersebut.
Spesialisasi mengandung arti
seleksi, karena spesialisasi menempatkan orang-orang pada
posisi tertentu sesuai dengan bakat,
minat, kompetensi dan kesempatan yang tersedia di
dalam masyarakat. Proses ini juga
berarti alokasi dan distribusi sumber daya yang ada di
dalam masyarakat. Orang mendapat
penghargaan, termasuk imbalam materi, sesuai
dengan peran yang dimainkannya di
dalam masyarakat. Seleksi berarti alokasi dan
distribusi sumber kemakmuran, karena
setiap bidang spesialisasi mendapat imbalan yang
berbeda. Lebih jauh lagi,
peristiwa-peristiwa tersebut dapat melahirkan stratifikasi sosial.
Bagaimana mungkin proses seleksi,
alokasi dan distribusi itu terjadi? Hal ini dapat
terjadi adalah melalui pendidikan.
Earl Hopper mendukung teori tersebut. Menurut
Hooper Seleksi dilakukan di berbagai
tahapan, dan itu dimulai di lembaga pendidikan.
Ketika memasuki sekolah anak-anak
mengalami seleksi yang ketat melalui tes masuk.
Kemudian ia harus memilih jurusan
atau program studi, adapun diterima atau tidaknya di
jurusan atau program studi yang
dipilih, kriterianya ditetapkan oleh lembaga pendidikan
yang bersangkutan. Kurikulum
pendidikan di berbagai jenjang dan prodi atau jurusan
diproyeksikan untuk suatu lapangan
pekerjaan tertentu, ada yang jabatannya tinggi ada
yang menengah atau rendah, demikian
pula gajinya. Melalui lembaga pendidikan ini
anggota masyarakat diseleksi dan
mendapatkan pengetahuan, sikap, mental dan
keterampilan tertentu. Sehingga
dengan demikian, ketika memasuki lapangan kerja –
yang juga melalui seleksi - mereka
akan menempati lapangan kerja tertentu sesuai
dengan pendidikannya. Seperti Anda
ketahui, bahwa setelah memasuki lapangan kerja
pun, seseorang akan mungkin
mendapatkan pelatihan atau pendidikan lanjutan. Ada
lapangan kerja yang potensial untuk
mendapatkan pendapatan yang baik atau kurang
baik, dan ada lapangan kerja yang
tertutup atau terbuka untuk mendapatkan kemajuan
melalui pendidikan lebih lanjut baik
yang diselenggarakan oleh lembaga atau perusahaan
tempat seseorang bekerja atau pun melalui
pendidikan di lembaga lain. Hopper melihat
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 161
pendidikan sebagai sarana seleksi
dalam pelaksanaan peran-peran sosial yang
sebagaimana dikemukakan Durkhein
dapat melahirkan stratifikasi sosial.
Menyimak uraian di atas, kesimpulan
apa yang dapat Anda rumuskan? Ya, jadi
pendidikan selain memiliki fungsi
sosialisasi demi terciptanya homogenitas, juga
memiliki fungsi seleksi demi
terciptanya heterogenisasi yang berimplikasi bagi lahirnya
stratifikasi sosial. Stratifikasi
sosial tidak akan hilang karena pendidikan, sebaliknya
pendidikan akan melahirkan atau
melestarikan adanya stratifikasi sosial.
Implikasi bagi Peranan Guru.
Pendidikan dipandang tidak akan dapat
menghapuskan stratifikasi sosial,
bahkan sebaliknya akan dapat melestarikan adanya
stratifikasi sosial. Sekalipun
demikian, konsep hubungan antara pendidikan dan
mobilitas sosial memberikan harapan
bagi setiap orang untuk dapat naik status/golongan
di dalam tangga sosialnya. Hal ini
mesti dipahami dan diperhatikan betul oleh para guru,
sebab konsep ini akan dapat
dijadikan acuan oleh para guru untuk memberikan dorongan
atau motivasi bagi para siswanya
agar mereka belajar untuk mencapai prestasi yang
tinggi dan belajar sampai jenjang
pendidikan tertinggi. Guru hendaknya dapat
memberikan contoh atau teladan
mengenai kasus-kasus mobilitas sosial tersebut. Dalam
konteks ini, alangkah sangat tidak
diharapkan apabila guru memandang rendah para
siswanya yang berasal dari golongan
rendah, dan apabila guru tidak yakin dengan
kemampuan para siswanya tersebut.
Sikap guru seperti ini jelas akan kontra produktif,
akan menghalangi untuk terjadinya
mobilitas sosial. Sebab itu, para guru hendaknya
menyadari betul bahwa pendidikan –
khususnya sekolah - memiliki fungsi mobilitas
sosial.
3. Pendidikan dan Kebudayaan.
Enkulturasi, Transmisi Kebudayaan
dan Perubahan Kebudayaan.
Kebudayaan adalah ciptaan manusia
dan syarat bagi kehidupan manusia. Manusia
menciptakan kebudayaan dan karena
kebudayaannya manusia menjadi makhluk yang
berbudaya. Coba Anda perhatikan bayi
yang baru lahir ke dunia, ia dalam keadaan penuh
ketergantungan kepada orang lain,
khususnya kepada orang tuanya, ia belum dapat
mengendalikan emosinya, belum tahu
nilai dan norma, belum mampu membayangkan
masa depannya, dst. Namun demikian,
karena ia hidup dalam lingkungan yang
berbudaya, melalui pendidikan
(enkulturasi) pada akhirnya ia menjadi orang dewasa yang
mampu berperan serta dalam kehidupan
masyarakat dan budayanya yang begitu
kompleks.
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 162
Sebagaimana telah Anda pahami
melalui kegiatan belajar 1, menurut sudut
pandang antropologi, bahwa yang
memungkinkan hal di atas terjadi adalah enkulturasi.
Dengan mengacu kepada pernyataan
Melville J. Herkovits, Imran Manan (1989:34)
mengemukakan bahwa: “Enkulturasi
seorang individu selama tahun-tahun awal dari
kehidupannya adalah mekanisme pokok
yang membuat sebuah kebudayaan stabil,
sementara proses yang berjalan pada
anggota masyarakat yang lebih tua sangat penting
dalam mendorong perubahan”. Jadi
selama masa kanak-kanak dan masa mudanya,
enkulturasi menstabilkan budaya,
karena enkulturasi mengembangkan kebiasaankebiasaan
sosial yang diterima menjadi
kepribadian anak yang makin matang. Dalam hal
ini enkulturasi berarti transmisi
kebudayaan. Namun demikian, di kala dewasa,
enkulturasi sering mendorong
perubahan. Hal ini terjadi karena banyak bentuk-bentuk
perilaku baru yang diperlukan orang
dewasa, bahkan tidak hanya bagi dirinya saja tetapi
juga bagi kebudayaan itu sendiri.
Pandangan tentang Kebudayaan dan
Pendidikan. Ada tiga pandangan
tentang kebudayaan yang berimplikasi
terhadap konsep pendidikan. Ketiga pandangan
tersebut yakni: 1) Pandangan
Superorganik, 2) Pandangan Konseptualis, dan 3)
Pandangan Realis (Imran Manan,
1989).
Pandangan Superorganik. Apabila
melalui uraian di atas Anda telah memahami
bahwa kebudayaan adalah ciptaan
manusia, sebaliknya menurut pandangan
Superorganik, bahwa kebudayaan
merupakan sebuah kenyataan yang berada di atas dan
di luar individu-individu yang
menjadi pendukung kebudayaan, dan realita tersebut
mempunyai hukum-hukumnya sendiri.
Jadi kebudayaan itu merupakan realita
superorganis. Leslie White salah
seorang pendukung pandangan Superorganik
mengemukakan bahwa: “Perilaku
manusia semata-mata merupakan respons organisme
terhadap rangsangan budaya. Karena
itu, tingkah laku manusia ditentukan oleh
kebudayaan. Apa yang dicari orang
dan bagaimana ia mencarinya ditentukan oleh
kebudayaan. Ini merupakan pandangan
“determinisme budaya” di mana manusia
dipandang sebagai instrumen, melalui
manusia kebudayaan mengungkapkan dirinya
sendiri.
Sebagaimana dikemukakan Kneller
(Imran Manan, 1989), implikasi pandangana
Superorganik tentang kebudayaan
terhadap pendidikan adalah bahwa pendidikan
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 163
dipandang sebagai suatu proses yang
digunakan suatu masyarakat untuk mengendalikan
dan membentuk individu-idividu
sesuai dengan tujuan-tujuan yang ditentukan oleh nilainilai
dasar suatu kebudayaan. Pendidikan -
informal,formal maupun nonformal -
merupakan proses yang meletakkan
generasi baru di bawah pengendalian sebuah sistem
budaya. Pandangan superorganik juga
menekankan keharusan pemerintah untuk
melakukan pengawasan yang ketat
untuk menjamin bahwa para guru benar-benar
menanamkan gagasan-gagasan,
sikap-sikap dan keterampilan-keterampilan yang
mendukung kelanjutan kebudayaan. Ini
berarti bahwa pendidikan bersifat sentralistik,
selain itu pendidikan hanya
berfungsi untuk pewarisan atau transisi kebudayaan.
Pandangan Konseptualis. Sebaliknya
dari pandangan Superorganik, menurut
pandangan Konseptualis kebudayaan
tidak memiliki realita yang bersifat ontologis,
kebudayaan bukan suatu realita
superorganis diatas dan di luar individu. Melainkan,
kebudayaan adalah sebuah “logical
construct” yang diabstraksikan dari tingkah laku
manusia. Kebudayaan adalah sebuah
konsep yang dibangun dari keseragamankeseragaman
yang dapat diamati dalam urutan
tingkah laku dengan menggunakan sebuah
proses abstraksi logis.
Implikasi pandangan Konseptualis
tentang kebudayaan terhadap pendidikan
adalah bahwa dalam pendidikan
generasi baru harus mempelajari warisan budayanya
sesuai dengan perhatiannya dan
mengembangkan gambaran mereka sendiri mengenai
kebudayaannya secara objektif. Sebab
itu, menurut pandangan Konseptualis pendidikan
dipandang dapat menjadi alat
perubahan budaya dalam arti menciptakan iklim opini yang
merangsang pemikiran dan penerimaan
pemikiran inovatif.
Pandangan Realis. Menurut pandangan
Realis, kebudayaan merupakan sebuah
konsep dan realita empiris.
Sebagaimana dikemukakan David Bidney (Imran Manan,
1989), kebudayaan merupakan “warisan
budaya” yaitu abstraksi atau generalisasi dari
“perilaku” nyata anggota-anggota
masyarakat. Hal ini berarti kebudayaan merupakan
sebuah konsep (abstraksi) dan juga
sebuah realita (tingkah laku).
Implikasi pandangan Realis tentang
kebudayaan terhadap pendidikan: Pengikut
pandangan Realis meyakini bahwa anak
manusia memiliki daya penyesuaian terhadap
realita yang mengelilinginya, baik
terhadap yang bersifat fisik maupun sosial-budaya.
Untuk mengembangkan daya penyesuaian
tersebut mereka harus diberi berbagai
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 164
pengetahuan, nilai, sikap dan
keterampilan yang disediakan oleh kebudayaan mereka.
Mereka menginginkan system
pendidikan yang berfungsi untuk melatih generasi muda
mempunyai kemampuan untuk
mempertimbangkan secara objektif perubahan sosial
budaya yang sesuai dengan
nilai-nilai dasar budayanya.
Fungsi Pendidikan dalam Masyarakat
dan Kebudayaannya. Uraian di atas
memberikan pemahaman kepada Anda
tentang adanya perbedaan paham mengenai
kebudayaan dan implikasinya terhadap
pendidikan. Ini berkenaan dengan apakah fungsi
pendidikan dalam suatu masyarakat
hanya untuk menanamkan warisan budaya atau
mempengaruhi perkembangan
kebudayaan? Selain itu juga berkenaan dengan apakah
anak didik harus mempelajari warisan
budaya sebagaimana diajarkan pendidiknya,
ataukah anak didik harus
mengeksplorasi atas inisiatif sendiri, menciptakan gambarnya
sendiri tentang warisan kebudayaan?
Lepas dari perbedaan pendapat tersebut, dari
uraian di atas juga Anda kiranya
dapat memperoleh pelajaran bahwa pada dasarnya
terdapat dua fungsi pokok pendidikan
dalam hubungannya dengan keadaan serta harapan
masyarakat dan kebudayaannya. Kedua
fungsi yang dimaksud adalah:
1) Fungsi konservasi.
Dalam hal ini, pranata pendidikan
berfungsi untuk mentransmisikan/mewariskan atau
melestarikan nilai-nilai budaya
masyarakat dan/atau mempertahankan kelangsungan
eksistensi masayarakat.
2) Fungsi Inovasi/kreasi/transformasi
Dalam hal ini, pranata pendidikan
berfungsi untuk melakukan perubahan dan
pembaharuan masyarakat beserta
nilai-nilai budayanya.
Kedua fungsi pendidikan sebagaimana
dikemukakan di atas, yaitu fungsi
konservasi dan fungsi inovasi pendidikan
bagi masyarakat dan kebudayaannya dapat kita
pahami dan riil terjadi di dalam
kehidupan masyarakat. Sebagaimana Anda maklumi, di
dalam masyarakat terdapat
nilai-nilai, pengetahuan, dan kelakuan-kelakuan berpola yang
masih relevan dan dipandang baik
yang harus tetap dilestarikan. Sebaliknya, terdapat
pula nilai-nilai, pengetahuan dan
kelakuan berpola yang sudah dipandang tidak relevan
lagi dan tidak bernilai yang perlu
diubah atau diperbaharui. Adapun untuk melestarikan
dan melakukan pembaharuan atau
perubahan tersebut masyarakat perlu melakukannya
melalui pendidikan, atau melalui apa
yang di dalam antropologi disebut enkulturasi.
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 165
Latihan
Setelah selesai mempelajari uraian
materi pada kegiatan belajar ini, coba Anda
rumuskan: 1) definisi pranata
sosial; 2) definisi pranata pendidikan; 3) jenis hubungan
antara pendidikan dengan kehidupan
ekonomi, 4) implikasi pandangan konseptualis
terrhadap konsep pendidikan, 5) dua
fungsi utama pendidikan dalam hubungan
dengan masyarakat dan kebudayaannya.
Petunjuk Jawaban Latihan
Untuk dapat menjawab tugas latihan
nomor 1) Anda perlu mengingat kembali
pengertian pranata sosial. Untuk
dapat menjawab tugas latihan nomor 2) Anda perlu
mengacu kepada definisi pranata sosial
dan keperluan masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan dasarnya untuk
mengantarkana generasi mudanya agar dapat hidup
bermasyarakat dan berbudaya. Untuk
dapat menjawab tugas latihan nomor 3) Anda
perlu memperhatikan pengaruh timbal
balik antara factor ekonomi dan pendidikan.
Untuk dapat menjawab tugas latihan
nomor 4) Anda perlu mengingat kembali tiga
pandangan tentang kebudayaan dan
pendidikan. Adapun untuk dapat menjawab tugas
latihan nomor 5) Anda dapat mengacu
kepada kenyataan riil tentang adanya
pelestarian dan perubahan kebudayaan
di dalam masyarakat.
Rangkuman
Pranata Pendidikan. Dalam rangka
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya,
masyarakat memiliki pranata sosial.
Ada berbagai jenis pranata sosial, salah satunya
yakni pranata pendidikan. Pranata pendidikan
adalah salah satu pranata sosial dalam
rangka proses sosialisasi dan/atau
enkulturasi untuk mengantarkan individu ke dalam
kehidupan bermasyarakat dan
berbudaya, serta untuk menjaga kelangsungan eksistensi
masyarakat dan kebudayaannya.
Pranata pendidikan berada di dalam
masyarakat dan bersifat terbuka. Sebab itu,
pranata pendidikan mengambil masukan
(input) dari masyarakat dan memberikan
keluarannya (out put) kepada
masyarakat. Selain pranata pendidikan, di dalam
masyarakat terdapat pula pranata-pranata
lainnya, seperti pranata ekonomi, pranata
politik, dst. Terdapat hubungan
antara pranata pendidikan dengan pranata-pranata
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 166
lainnya yang ada di dalam
masyarakat, bahkan terdapat hubungan saling mempengauhi
antara pranata pendidikan dengan
masyarakat secara keseluruhan sebagai supra sistem
yang melingkupinya.
Pendidikan dan Masyarakat. Dalam
bidang pendidikan telah terjadi
perkembangan yang begitu pesat
(explosion of education), sejalan dengan itu terjadi pula
perkembangan di bidang ekonomi.
Diketahui bahwa terdapat hubungan timbal balik
antara pertumbuhan pendidikan dan
pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, tidak
diketahui dengan jelas faktor mana
yang muncul lebih dahulu yang menjadi penyebab
bagi faktor yang lainnya. Penganut
teori Konsensus dan teori Konflik memiliki
kesamaan pandangan bahwa fungsi
utama pranata pendidikan dalam kaitannya dengan
kehidupan ekonomi adalah
mempersiapkan para pemuda untuk mengisi lapangan kerja
produktif. Adapun pendidikan bagi
orang dewasa bertujuan meningkatkannya agar
mereka mampu menghadapi permasalahan
yang dihadapinya. Sebab itu, melalui pranata
sosial yang ada di dalam
masyarakatnya (keluaga, sekolah, dan masyarakat) mereka
(peserta didik) mendapatkan
pendidikan mental, sikap, pengetahuan dan keterampilan
yang bermanfaat khususnya dalam
kehidupan ekonomi. Proses tersebut terjadi pada
semua masyarakat, mulai dari yang
paling tradisional sampai yang paling maju.
Di mana pun, di dalam masyarakat
terdapat stratifikasi sosial (social
stratification), yaitu pembedaan
anggota masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya.
Ada dua jenis stratifikasi sosial,
yaitu stratifikasi sosial tertutup dan stratifikasi sosial
terbuka. Di dalam stratifikasi
sosial terbuka terdapat mobilitas sosial. Menurut Turner,
dalam masyarakat dengan sistem
stratifikasi sosial terbuka, pendidikan dipandang
sebagai suatu sarana mobilitas
sosial yang penting.
Pendidikan selain memiliki fungsi
sosialisasi demi terciptanya homogenitas, juga
memiliki fungsi seleksi demi
terciptanya heterogenisasi yang berimplikasi bagi lahirnya
stratifikasi sosial. Stratifikasi
sosial tidak akan hilang karena pendidikan, sebaliknya
pendidikan akan melahirkan atau
melestarikan adanya stratifikasi sosial.
Sekalipun pendidikan tidak akan
dapat menghilangkan stratifikasi sosial, namun
para guru hendaknya menyadari betul
bahwa pendidikan – khususnya sekolah - memiliki
fungsi mobilitas sosial. Hal ini
mesti dipahami dan diperhatikan betul oleh para guru,
sebab konsep ini akan dapat
dijadikan acuan dalam rangka memberikan dorongan
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 167
(motivasi) bagi para siswanya agar
mereka belajar untuk mencapai prestasi yang tinggi
dan belajar sampai jenjang
pendidikan tertinggi.
Pendidikan dan Kebudayaan.
Enkulturasi memiliki dua dimensi pengertian
dalam kaitannya dengan kebudayaan,
yaitu: (1) enkulturasi sebagai transmisi
kebudayaan, dan (2) enkulturasi
sebagai pendorong perubahan kebudayaan.
Ada tiga pandangan yang berbeda
tentang kebudayaan yang berimplikasi
terhadap konsep pendidikan. Ketiga
pandangan tersebut yakni: 1) pandangan
Superorganik, 2) pandangan
Konseptualis, dan 3) Pandangan Realis. Lepas dari
perbedaan pandangan menurut ketiga
pandangan tersebut, bahwa pada dasarnya terdapat
dua fungsi pokok pendidikan dalam
hubungannya dengan keadaan serta harapan
masyarakat dan kebudayaannya. Kedua
fungsi yang dimaksud adalah fungsi konservasi
dan fungsi inovasi/transformasi.
Tes Formatif 2
Jawablah semua soal di bawah ini
secara ringkas dan jelas !
1. Apakah yang dimaksud dengan
pranata sosial?
2. Apa yang dimaksud dengan pranata
pendidikan?
3. Bagaimanakah hubungan antara
perkembangan pendidikan dan perkembangan
ekonomi?
4. Penganut teori Konsensus dana
teori Konflik kesamaan pandangan mengenai fungsi
pendidikan dalam kaitannya dengan
ekonomi. Fungsi apakah yang dimaksud?
5. Kemukakan ciri utama peran
sekolah pada masyarakat ekonomi modern !
6. Kemukakan definisi stratifikasi
sosial !
7. Pemegang utama fungsi mobilitas
sosial dalam masyarakat dengan sistem stratifikasi
sosial terbuka adalah ….
8. Guru memotivasi para siswanya
untuk dapat menempuh jenjang pendidikan tertinggi
dan prestasi tertinggi. Kemukakan
dasar asumsi sosiologisnya !
9. Kemukakan implikasi konsep
kebudayaan terhadap pendidikan menurut teori
Superorganik.
10. Kemukakan dua fungsi utama
pendidikian dalam hubungannya dengan harapan
masyarakat dan kebudayaannya.
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 168
Tindak Lanjut
Cocokan jawaban Anda dengan kunci
jawaban Tes Formatif 2 yang terdapat pada
bagian akhir BBM ini. Hitung berapa
jawaban Anda yang benar, kemudian gunakan
rumus di bawah ini untuk mengetahui
tingkat penguasaan Anda mengenai materi
Kegiatan Belajar ini.
Rumus :
Jumlah jawaban benar
Tingkat Penguasaan = X 100 %
10
Kriteria Tingkat Penguasaan:
90 % - 100 % = Baik Sekali.
80 % - 89 % = Baik.
70 % - 79 % = Cukup.
< 69 % = Kurang.
Apabila Anda mencapai tingkat
penguasaan 80% ke atas, silahkan Anda teruskan untuk
mempelajari Kegiatan Belajar
selanjutnya . Bagus ! Akan tetapi apabila tingkat
penguasaan Anda masih di bawah 80%,
maka Anda harus mengulangi Kegiatan Belajar
ini, terutama bagian-bagian yang
belum Anda kuasai.
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 169
Kegiatan Belajar 3
LINGKUNGAN PENDIDIKAN
DAN POLA KEGIATAN SOSIAL PENDIDIKAN
Dalam kegiatan belajar ini ada tiga
pokok bahasan yang akan Anda kaji, yaitu: (1)
Lingkungan pendidikan; (2) Pola-pola
kegiatan sosial pendidikan; (3) Pola sikap guru
kepada siswa dan implikasinya
terhadap fungsi dan tipe guru. Kajian dalam pokok
bahasan pertama meliputi konsep
lingkungan pendidikan informal, formal dan
nonformal. Kajian dalam pokok
bahasan kedua meliputi jenis-jenis pola hubungan sosial
pendidikan, yaitu pola nomothetis,
ideografis, dan transaksional serta implikasinya
terhadap pendidikan. Adapun kajian
dalam pokok bahasan ketiga meliputi jenis-jenis
pola sikap guru kepada siswa serta
implikasinya terhadap fungsi dan tipe guru. Dengan
demikian, setelah mempelajari
kegiatan belajar ini, Anda diharapkan dapat menjelaskan
konsep tentang lingkungan pendidikan
informal, formal dan nonformal; jenis-jenis pola
kegiatan sosial pendidikan dan
implikasinya terhadap pendidikan; serta jenis-jenis sikap
guru kepada siswa serta implikasinya
terhadap fungsi dan tipe guru.
1. Lingkungan Pendidikan
a. Pendidikan Informal, Formal, dan
Nonformal
Idealnya, pendidikan dijalani
individu sepanjang hayat. Dalam rangka
pendidikan yang berlangsung
sepanjang hayat tersebut, pendidikan berlangsung secara
informal, formal dan nonformal di berbagai
lingkungan pendidikan. Sehubungan dengan
itu, maka dapat dikenal adanya tiga
jenis lingkungan pendidikan, yaitu lingkungan
pendidikan informal, lingkungan
pendidikan formal dan lingkungan pendidikan
nonformal.
1) Lingkungan Pendidikan Informal
Pendidikan informal adalah
pendidikan yang berlangsung atau terselenggara
secara wajar (alamiah) di dalam
lingkungan hidup sehari-hari. Pendidikan informal
antara lain berlangsung di dalam
keluarga, pergaulan anak sebaya, pergaulan di tempat
bekerja, kegiatan-kegiatan ritual
keagamaan, pelaksanaan adat kebiasaan oleh
masyarakat, dsb. Pengetahuan, sikap,
nilai-nilai, norma-norma, adat kebiasaan, dan
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 170
keterampilan-keterampilan tertentu
diwariskan masyarakat dan diperoleh anak atau
individu anggota masyarakat antara
lain melalui pendidikan yang bersifat informal itu.
a) Pendidikan Informal di dalam
Keluarga
Keluarga merupakan unit sosial
terkecil yang bersifat universal, artinya terdapat
di setiap tempat di mana pun. Dalam
arti sempit, keluarga adalah unit sosial yang terdiri
atas dua orang (suami-isteri) atau
lebih (ayah, ibu dan anak). Adapun dalam arti luas,
keluarga adalah unit sosial
berdasarkan hubungan darah atau keturunan, yang terdiri
atas beberapa keluarga dalam arti
sempit.
Jenis atau bentuk keluarga. Menurut
Kamanto Sunarto (1993) keluarga dapat
dibedakan dalam berbagai macam
bentuk. Berdasarkan keanggotaannya, keluarga
dibedakan menjadi keluarga batih
(nuclear family) dan keluarga luas (extended family).
Keluarga batih adalah keluarga
terkecil yang terdiri atas ayah, ibu dan anak. Sedangkan
keluarga luas adalah keluarga yang
terdiri atas beberapa keluarga batih. Berdasarkan
garis keturunannya,keluarga
dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu: keluarga patrilinial
(garis keturunan ditarik dari pria
atau ayah); keluarga matrilineal (garis keturunan ditarik
dari wanita atau ibu), dan keluarga
bilateral (garis keturunan ditarik dari pria dan wanita
atau ayah dan ibu). Selain itu,
berdasarkan pemegang kekuasaannya, keluarga dibedakan
menjadi: keluarga patriarhat
(patriarchal), yaitu dominasi kekuasaan berada pada pihak
ayah; keluarga matriarhat
(matriarchal), yaitu dominasi kekuasaan berada pada pihak
ibu; dan keluarga equalitarian,
yaitu ayah dan ibu mempunyai kekuasaan yang sama.
Berdasarkan bentuk perkawinannya,
keluarga dibedakan menjadi: keluarga monogami,
yaitu pernikahan antara satu orang
laki-laki dan satu orang perempuan; keluarga
poligami, yaitu pernikahan antaraa
satu orang laki-laki dengan lebih dari satu orang
perempuan; keluarga poliandri, yaitu
satu orang perempuan mempunyai lebih dari satu
orang suami pada satu saat.
Berdasarkan status sosial ekonominya, keluarga dibedakan
menjadi: keluarga golongan rendah,
keluarga golongan menengah, dan keluarga
golongan tinggi. Selanjutnya,
berdasarkan keutuhannya, keluarga dibedakan menjadi:
keluarga utuh; keluarga pecah atau
bercerai, dan keluarga pecah semu. yaitu keluargaa
yang tidak bercerai tetapi hubungan
antara suami dengan istri dan dengan anakanaknya
sudah tidak harmonis lagi.
Fungsi keluarga. Keluarga memiliki
berbagai fungsi, antara lain fungsi affeksi,
fungsi biologis, fungsi proteksi,
fungsi ekonomi, fungsi pendidikan, fungsi religius,
fungsi rekreasi, dsb. Namun menurut
antroplog bernama George Peter Murdock
(Sudardja Adiwikarta, 1988),
terdapat empat fungsi keluarga yang bersifat universal,
yaitu:
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 171
1. Sebagai pranata yang membenarkan
hubungan seksual antara pria dan wanita dewasa
berdasarkan pernikahan.
2. Mengembangkan keturunan.
3. Melaksanakan pendidikan.
4. Sebagai kesatuan ekonomi.
Salah satu fungsi keluarga adalah
untuk melaksanakan pendidikan. Dalam hal
ini orang tua (ibu dan ayah)
berperan sebagai pengemban tanggung jawab pendidikan
anak. Secara kodrati orang tua
bertanggung jawab atas pendidikan anak, dan atas kasih
sayangnya orang tua mendidik
anak-anaknya. Orang yang berperan sebagai pendidik bagi
anak di dalam keluarga utamanya
adalah ayah dan ibu. Namun demikian, selain mereka,
saudara-saudaranya, pembantu rumah
tangga atau baby sitter pun turut serta mendidik
anak. Apalagi dalam keluarga luas
(extended family), bahwa kakek, nenek, paman, bibi,
atau siapa pun yang tinggal serumah
dengan anak juga akan turut mempengaruhi atau
mendidik anak ybs. Menyimak hal itu,
pergaulan pendidikan di dalam keluarga terkadang
tidak berlangsung hanya dilakukan
oleh orang tua (ayah, ibu) saja.
Keluarga merupakan lingkungan
pendidikan yang bersifat informal, artinya
bahwa suatu keluarga dibangun bukan
pertama-tama sebagai pranata pendidikan, namun
demikian, pada kenyataanya secara
wajar di dalam keluarga berlangsung pendidikan
yang diselenggarakan orang tua
kepada anak-anaknya. Pendidikan dalam keluarga
terselenggara atas dasar tanggung
jawab kodrati dan atas dasar kasih sayang yang secara
naluriah ada pada diri orang tua. Di
samping itu, cara-cara pelaksanaan pendidikan
dalam keluarga berlangsung tidak
dengan cara-cara yang formal dan artificial,
melainkan melalui cara-cara dan
dalam suasana yang wajar.
Sejak kelahirannya, anak mendapatkan
pengaruh dan pendidikan dari
keluarganya. Pendidikan yang
dilakukan dalam keluarga sejak anak masih kecil akan
menjadi dasar bagi pendidikan dan
kehidupannya di masa datang. Hal ini sebagaimana
dikemukakan M.I. Soelaeman (1985)
bahwa: "pengalaman dan perlakuan yang didapat
anak dari lingkungannya semasa kecil
- dari keluarganya - menggariskan semacam pola
hidup bagi kehidupan selanjutnya.
Adler menyebut pola hidup ini dengan kata Leitlinie,
yaitu semacam garis yang membimbing
kehidupannya, yang - sadar atau tidak sadar -
diusahakan anak untuk
meraihnya". Pengalaman yang diterima anak semasa kecil akan
menentukan sikap hidupnya dikemudian
hari. Sehubungan dengan itu keluarga
merupakan peletak dasar pendidikan
anak.
Sekalipun tujuan pendidikan dalam
keluarga tidak dirumuskan secara tersurat,
tetapi dari apa yang tersirat dapat
dipahami bahwa tujuan pendidikan dalam keluarga
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 172
adalah agar anak menjadi pribadi
yang mantap, bermoral, dan menjadi anggota
masyarakat yang baik. Sehubungan
dengan itu, pendidikan dalam keluarga dapat
dipandang sebagai persiapan ke arah
kehidupan anak dalam masyarakatnya. Adapun isi
pendidikan dalam keluarga biasanya
meliputi: berbagai pengetahuan yang mendasar,
sikap, nilai dan norma agama, nilai
dan norma masyarakat/budaya, serta keterampilanketerampilan
tertentu.
Berdasarkan uraian terdahulu dapat
disimpulkan bahwa fungsi pendidikan
dalam keluarga adalah: (1) sebagai
peletak dasar pendidikan anak, dan (2) sebagai
persiapan ke arah kehidupan anak
dalam masyarakatnya.
Berbagai faktor yang ada dan terjadi
dalam keluarga akan turut menentukan
kualitas proses dan hasil pendidikan
anak. Jenis keluarga, gaya kepemimpinan orang tua,
kedudukan anak dalam struktur
keanggotaan keluarga, fasilitas yang ada dalam keluarga,
hubungan keluarga dengan dunia luar,
status sosial ekonomi orang tua, dan sebagainya
akan turut mempengaruhi pendidikan
anak dalam keluarga, yang pada akhirnya akan
turut pula mempengaruhi pribadi
anak.
b) Pendidikan Informal dalam
Masyarakat
Pendidikan informal dalam masyarakat
antara lain dapat berlangsung melalui
adat kebiasaan, pergaulan anak
sebaya, upacara adat, pergaulan di lingkungan kerja,
permainan, pagelaran kesenian, dan
bahkan melalui percakapan biasa dalam kehidupan
sehari-hari. Apabila kita analisis,
semuanya itu tentunya mengandung muatan
pengetahuan, nilai-nilai,
norma-norma, sikap, keterampilan, dst. yang dengan cara-cara
yang wajar/informal dalam kehidupan
sehari-hari (tidak dirasakan sebagai pendidikan
oleh individu) diwariskan oleh
masyarakat kepada generasi mudanya. Dalam konteks ini
pendidikan merupakani pewarisan
sosial yang berfungsi untuk melestarikan nilai-nilai
budaya masyarakat.
2) Pendidikan Formal (Sekolah)
Sekolah sebagai Pranata Sosial.
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan
yang terstruktur dan berjenjang yang
terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah
dan pendidikan tinggi (Pasal 1 ayat
11 UU RI No. 20 Tahun 2003). Pendidikan formal
diselenggarakan di sekolah, Sekolah
didirikan secara sengaja oleh masyarakat dan/atau
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 173
pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan pendidikan. Jika kita analisa, sekolah
mewujudkan aktivitas khas dari
kelakuan berpola yang ada di masyarakat; aktivitas khas
ini dilakukan oleh berbagai pribadi
atau manusia yang mempunyai struktur yang
mencakup berbagai kedudukan dan
peranan, misal: kepala sekolah, guru, siswa, dsb;
aktivitas khas di sekolah mengacu
kepada sistem ide, nilai, norma atau tata kelakuan
tertentu; menggunakan berbagai
peralatan; dan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat di bidang pendidikan.
Dengan demikian, Sekolah adalah salah satu pranata
sosial yang memiliki tugas khusus
untuk menyelenggarakan pendidikan. Waini Rasyidin
dan M.I. Soelaeman menyatakan:
“Sekolah ialah suatu satuan (unit) sosial atau lembaga
sosial yang kekhususan tugasnya
ialah melaksanakan proses pendidikan” (Odang Muctar,
1991).
Komponen Sekolah. Sekolah memiliki
struktur tertentu yang didukung oleh
berbagai unsur atau komponen.
Komponen sekolah antara lain terdiri atas: 1) tujuan
pendidikan, 2) Manusia, yaitu guru,
peserta didik, kepala sekolah, laboran, pustakawan,
tenaga administrasi, petrugas
kebersihan, dst., 3) kurikulum, 4) Media pendidikan dan
teknologi pendidikan, 5) Sarana,
prasarana, dan fasilitas, serta 6) pengelola sekolah. Tiga
komponen utama sekolah – sebagaimana
halnya madrasah - yang menjadi syarat agar
sekolah dapat melaksanakan fungsi
minimumnya, yaitu: 1) peserta didik, 2) guru, dan
kurikulum. Namun demikian dewasa ini
idealnya struktur sekolah memerlukan dukungan
berbagai komponen, tidak hanya
didukung oleh tiga komponen tersebut.
Sekolah sebagai Pranata/Lembaga
Pendidikan Formal. Sebagai lembaga
pendidikan formal, sekolah merupakan
kesatuan kegiatan-kegiatan menyelenggarakan
pembelajaran yang dilakukan oleh
para petugas khusus dengan cara-cara yang terencana
dan teratur menurut tatanan nilai
dan norma yang telah ditentukan untuk mencapai tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan. Redja
Mudyahardjo (Odang Muchtar, 1991) antara lain
mengemukakan bahwa sebagai lembaga
pendidikan formal sekolah mempunyai
karakteristik sebagai berikut:
1) Sekolah mempunyai fungsi atau
tugas khusus dalam bidang pendidikan.
Fungsi/tugas intern sekolah adalah
melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan
kurikuler. Adapun fungsi/tugas
ekstern sekolah adalah kegiatan untuk mencapai
tujuan institusional.
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 174
2) Sekolah mempunyai tatanan nilai
dan norma yang dinyatakan secara tersurat
tentang peranan-peranan dan
hubungan-hubungan sosial di dalam sekolah, dan
antara sekolah dengan lembaga
lainnya.
3) Sekolah mempunyai program yang
terorganisasi dengan ketat. Hal ini seperti
tampak dalam jenjang sekolah dan
tingkatan kelas, adanya kurikulum formal,
jadwal belajar tertulis, dsb.
4) Kredensials dipandang penting
baik dalam, penerimaan siswa baru maupun untuk
menunjukkan bukti kelulusan
Formalitas sekolah merembes ke dalam
Kurikulum dan Pembelajaran.
Formalitas sekolah berakar pada
status para individu yang menjadi komponennya, serta
sistem nilai dan norma yang serba
resmi. Perlu kita sadari bahwa selanjutnya formalitas
tersebut merembes ke dalam kurikulum
dan cara-cara pembelajaran. Misal: belakangan
disinyalir bahwa kurikulum formal
sekolah berisi mata pelajaran-mata pelajaran yang
bersifat terpisah-pisah atau tidak
terintegrasi. Dalam prakteknya (kurikulum actual), caracara
pembelajaran pun menjadi begitu
formal, sehingga pembelajaran menjadi artificial
(dibuat-buat), membosankan.
Pendidikan tereduksi menjadi hanya sebatas pengajaran
atau latihan saja. Semua ini pada
akhirnya dapat menimbulkan hasil pendidikan yang
kurang sesuai dengan harapan
masyarakat maupun individu. Misal: pendidikan di sekolah
menjadi parsial/memihak hanya untuk
mengembangkan aspek tertentu saja dari
kepribadian peserta didik (terlalu
bersifat intelketual), kurang mengembangkan
keseluruhannya. Pendidikan di
sekolah menjadi makin jauh dari kenyataan di dalam
masyarakatnya. Hasilnya banyak
lulusan sekolah yang tidak memiliki kecakapan hidup,
mereka tidak mampu memecahkan
masalah yang dihadapi dalam hidupnya di dalam
masyarakat., menganggur, “merasa
asing hidup di dalam lingkungan masyarakatnya
sendiri”,dsb. Jika demikian halnya,
jangan-jangan masyarakat akan setuju dengan Ivan
Illich yang pernah menyerukan
pembubaran sekolah.
Sekolah memang adalah lembaga
pendidikan formal, tetapi barangkali perlu
disadari bahwa formalitas sekolah
itu jangan sampai mengurangi makna pendidikan
dalam rangka sosialisasi,
enkulturasi, dst., yang secara keseluruhannya disebut dengan
istilah humanisasi. Dengan
memperhatikan hal tersebut, kiranya sekolah akan tetap
mempunyai hubungan fungsional dua
arah dengan masyarakatnya, dibutuhkan dan
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 175
didukung masyarakatnya.
Fungsi Pendidikan Sekolah. Dari
sekian versi tentang fungsi pendidikan
sekolah dapat dikemukakan
fungsi-fungsi sebagai berikut:
1) Fungsi transmisi kebudayaan
masyarakat.
2) Fungsi sosialisasi (memilih dan
mengajarkan peranan sosial)
3) Fungsi integrasi sosial.
4) Fungsi Mengembangkan kepribadian
individu/anak.
5) Fungsi mempersiapkan anak untuk
suatu pekerjaan.
6) Fungsi inovasi/men-transformasi
masyarakat dan kebudayaan.
Perbedaan Sosialisasi di Sekolah dan
di dalam Keluarga. Menurut George
Herbert Mead, manusia yang baru
lahir belum mempunyai diri (self) manusia. Diri
manusia berkembang melalui interaksi
dengan anggota masyarakatnya. Adapun
perkembangan diri manusia
berlangsung melalui tahapan: play stage, game stage, dan
generalized other. Pada tahap play
stage anak kecil mulai mengambil peranan orangorang
yang berada di sekitarnya melalui
cara meniru peranan orang tuanya atau orang
dewasa lain yang sering berinteraksi
dengannya dikala mereka bermain. Misalnya, anak
menirukan peranan ayahnya atau
ibunya - berangkat kerja. Tetapi anak belum memahami
isi peranan tersebut dan alasan
tentang peranan yang dilakukan atau ditirunya itu. Pada
tahap game stage anak bukan hanya
telah mengetahui peranan yang harus dijalankannya,
tetapi telah pula mengetahui peranan
yang harus dilakukan orang lain dengan siapa ia
berinteraksi. Pada tahap ini anak
telah mampu mengambil peranan orang lain. Pada tahap
generalized, anak telah mampu
berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat karena
telah memahami peranannya sendiri
serta peranan orang lain dengan siapa ia
berinteraksi. Anak telah mampu
mengambil peranan-peranan yang dijalankan orang lain
di masyarakat. Selaku anak ia telah
memahami peranan yang dilakukan orang tua; selaku
siswa ia telah
memahami peranan yang dilakukan oleh
guru, dsb. Menurut Mead, jika seseorang telah
mencapai tahap ini maka orang
tersebut telah mempunyai suatu diri. Pandangan Mead
menunjukkan bahwa diri seseorang
terbentuk melalui interaksi dengan orang lain
(Kamanto Sunarto, (1993).
Sejumlah ahli sosiologi mempelajari
perbedaan antara sosialisasi di sekolah
dengan di keluarga. Robert Dreeben
(1968) misalnya, ia mengemukakan empat
perbedaan aturan yang dipelajari
anak di keluarga dan di sekolah, yaitu independence,
achievement, universalism, and
specifity. Menurut Kamanto Sunarto (1993) pemikiran
Dreeben ini dipengaruhi oleh
dikhotomi Talcott Parsons - misalnya antara ascriptions
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 176
dan achievement, particularism dan
universalism, diffusinnes dan specifity. Keempat
perbedaan yang dikemukakan Dreeben
tersebut yaitu:
1) Kemandirian (independence).
Di sekolah anak mulai belajar hidup
lepas dari orang tuanya.Kalau di rumah anak
dapat mengharapkan bantuan orang
tuanya dalam mengerjakan sesuatu,
sebaliknya di sekolah ia belajar
menyelesaikannya sendiri.
2) Prestasi (achievement).
Kalau di rumah anak lebih banyak
terkait dengan status yang diterimanya
(ascribed status) dan
peranan-peranan yang diterimanya; Dalam hal tertentu di
sekolah anak dituntut belajar dengan
apa yang dapat diraihnya.
3) Universalisme (universalism).
Kalau di rumah anak mendapat
perlakuan khusus dari orang tuanya karena ia
memang anak mereka, di sekolah
setiap anak memperoleh perlakuan yang relatif
sama.
4) Specifity (spesifity)
Di sekolah, kegiatan siswa serta
penilaian terhadap kelakuan mereka dibatasi
secara spesifik. Misal: kekeliruan
siswa dalam mata pelajaran Matematika tidak
mempengaruhi penilaian gurunya dalam
mata pelajaran Bahasa Indonesia. Siswa
dapat memperoleh kegagalan serta
kritik dalam jam pelajaran tertentu, tetapi ia
pun dapat meraih keberhasilan dan
pujian pada jam pelajaran lainnya.
3) Pendidikan Nonformal
Definisi. Pendidikan nonformal
adalah jalur pendidikan pendidikan di luar
pendidikan formal yang dapat
dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang (Pasal 1
ayat (12) UU RI No. 20 Tahun 2003).
Fungsi. Pendidikan nonformal
berfungsi mengembangkan potensi peserta didik
dengan penekanan pada penguasaan
pengetahuan dan keterampilan fungsional serta
pengembangan sikap dan kepribadian
professional. Dalam hubungannya dengan
pendidikan formal, pendidikan
nonformal diselenggarakan bagi warga maasyarakat yang
memerlukan layanan pendidikan yang
berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau
pelengkap pendidikan formal dalam
rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Lingkup. Pendidikan nonformal
meliputi pendidikan kecakapan hidup,
pendidikan anak usia dini,
pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan
perempuan, pendidikan keaksaran, pendidikan
keterampilan dan pelatihan kerja,
pendidikan kesetaraan, serta
pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan
kemampuan peserta didik..
Satuan Pendidikan. Satuan pendidikan
nonformal terdiri atas lembaga
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 177
kursus, pelatihan, kelompok belajar,
pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis
taklim, serta satuan pendidikan yang
sejenis. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai
setara dengan hasil program
pendidikan formal setelah melalui proses penilaian
penyetaraan oleh lembaga yang
ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah
dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan. Contoh: hasil belajar Paket A dapat
disetarakan dengan hasil belajar di
SD atau Madrasah Ibtidaiyah, dsb.
2. Pola-Pola Kegiatan Sosial
Pendidikan
Sebagaimana dikemukakan J.W. Getzels
dan H.A. Thelen, pada dasarnya ada
dua dimensi tingkah laku yang saling
berinteraksi dan menentukan tingkah laku individu
di dalam sistem sosialnya, yaitu:
(1) dimensi nomothetis dan (2) dimensi ideografis (A.
Morrison and D. McIntyre, 1972).
Dimensi nomothetis meliputi variable pranata
(institution), peranan (role), dan
harapan-harapan sosial (expectations), sedangkan
dimensi ideografis meliputi variable
individu (individual), kepribadian, (personality),
dan kebutuhan-kebutuhan perorangan
(need-dispositions). Selanjutnya, bahwa dimensi
nomothetis saling berhubungan dengan
variable-variabel kebudayaan, yaitu ethos, mores,
dan nilai-nilai masyarakat; adapun
dimensi ideografis saling berhubungan dengan
variable-variabel biologis, yaitu
individu sebagai makhluk hidup (organism), keadaan
jasmaninya (constitution), dan
kemampuan-kemampuannya (potentialities). Dengan
demikian, terjadinya suatu tingkah
laku dapat dibagankan sebagai berikut:
Ethos Mores nilai-nilai
.
Pranata Pranan Harapan
Sistem
sosial Tingkah laku
Individual Kepribadian Kebutuhan
Organisme Konstitusi Kemampuan
Apabila kegiatan sosial pendidikan
dianalisis berdasarkan kecenderungan
orientasinya terhadap fungsi
dimensi-dimensi tingkah laku sebagaimana diuraikan di atas,
maka dapat diidentifikasi adanya
tiga pola kegiatan sosial pendidikan, yaitu: (1) Pola
Nomothetis, (2) Pola Ideografis, dan
(3) Pola Transaksional.
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 178
Pola Nomothetis lebih mengutamakan
fungsi dimensi tingkah laku yang bersifat
normatif/nomothetis dari pada fungsi
tingkah laku ideografis. Dengan demikian, maka
tingkah laku pendidik dan peserta
didik akan lebih mengutamakan tuntutan-tuntutan
institusi, pranan-peranan yang seharusnya,
dan harapan-harapan sosial daripada tuntutantuntutan
individual, kepribadian, dan
kebutuhan-kebutuhan individual. Pendidikan
berdasarkan pola nomothetis
mempunyai pengertian sebagai sosialisasi kepribadian
(socialization of personality).
Pendidikan dipandang sebagai upaya pewarisan nilai-nilai
sosial kepada generasi muda. Hal ini
menimbulkan sosilogisme dalam pendidikan.
Berkenaan dengan hal di atas Jaeger
(1977) membedakan pola kegiatan
sosialisasi (pendidikan) menjadi dua
pola ekstrim, yaitu (1) pola sosialisasi dengan cara
represi (repressive socialization),
dan (2) pola sosialisasi partisipasi (participatory
socialization).
Kebalikan dari Pola Nomothetis
adalah Pola Ideografis. Karena itu Pendidikan
berdasarkan pola kegiatan sosial
ideografis mempunyai pengertian sebagai personalisasi
peranan (personalization of roles),
yaitu upaya membantu seseorang untuk mengetahui
dan mengembangkan tentang apa yang
ingin diketahui atau yang ingin
dikembangkannya. Hal ini menimbulkan
psikologisme atau developmentalisme dalam
pendidikan.
Kegiatan sosial pendidikan Pola
Transaksional mengutamakan keseimbangan
berfungsinya dimensi tingkah laku
nomothetis dan dimensi tingkah laku ideografis.
Sebab itu pendidikan berdasarkan
pola ini dipahami sebagai suatu sistem sosial yang
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. setiap individu mengenal tujuan-tujua sistem, dan
tujuan-tujuan itu juga merupakan
bagian dari kebutuhan pribadinya; b. setiap individu
percaya bahwa harapan-harapan sosial
yang dikenakan kepada dirinya adalah rasional
apabila harapan-harapan tersebuit
dapat dicapai; c. Setiap individu merasa bahwa ia
termasuk suatu kelompok dengan
suasana emosional yang sama.
Sebagaimana dikemukakan A. Harris
dalam bukunya “I’am O.K. You’re O.K.; A
Practical Guide to Transacssional
Analysis” (Redja Mudyahardjo, 1991), bahwa dalam
kegiatan social pendidikan pola
Transaksional memungkinkan munculnya empat jenis
pola dasar hubungan transaksional.
Keempat jenis pola dasar hubungan transaksional
yang dimaksud adalah:
1) I’am not O.K. - You’re O.K.
2) I’am O.K. – You’re not O.K.
3) I’am not O.K. – You’re O.K.
4) I’am O.K. – You’re O.K.
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 179
Dalam kegiatan pendidikan, jenis
pola kegiatan social pendidikan yang
diharapkan terjadi adalah jenis pola
Transaksional. Adapun dalam kegiatan social
pendidikan pola Transaksional
tersebut diharapkan tercipta pola dasar hubungan
transaksional jenis yang keempat,
yaitu: “I’am O.K. – You’re O.K.”, artinya bahwa guru
mau melaksanakan pendidikan dan
siswa pun mau melaksanakan pendidikan.
3. Pola Sikap Guru kepada Siswa dan
Implikasinya terhadap Fungsi dan Tipe Guru
David Hargreaves (Sudarja
Adiwikarta, 1988) mengemukakan tiga
kemungkinan pola sikap guru terhadap
muridnya serta implikasinya terhadap fungsi dan
tipe/kategori guru.
Pola Pertama: Guru berasumsi bahwa
para muridnya belum menguasai
kebudayaan, sedangkan pendidikan
diartikan sebagai enkulturasi (pembudayaan).
Implikasinya maka tugas dan fungsi
guru adalah menggiring murid-muridnya untuk
mempelajari hal-hal yang dipilihkan
oleh guru dengan peretimbangan itulah yang terbaik
bagi mereka. Tipe guru dalam
kategori ini dinamakan Hargreaves sebagai penjinak atau
penggembala singa (“lion tamer”).
Pola Kedua: Guru berasumsi bahwa
para muridnya mempunyai dorongan
untuk belajar yang harus meghadapi
materi pengajaran yang baru baginya, cukup berat
dan kurang menarik. Implikasinya
maka tugas guru adalah membuat pengajaran menjadi
menyenangkan, menarik dan mudah bagi
para muridnya. Tipe guru demikian
dikategorikan sebagai penghibur atau
“entertainer”.
Pola Ketiga: Guru berasumsi bahwa
para muridnya mempunyai dorongan untuk
belajar, ditambah dengan harapan
bahwa murid harus mampu menggali sendiri sumber
belajar, dan harus mampu mengimbangi
dan berperan dalam kehidupan masyarakat yang
terus menerus berubah, bahkan dengan
kecepatan yang semakin meningkat. Implikasinya
guru harus memberikan kebebasan yang
cukup luas kepada murid. Baik secara individual
maupun kelompok kecil, guru dan
murid bersama-sama menyusun program kurikuler.
Hubungan guru-murid didasari
kepercayaan, dan arah belajar-mengajar adalah
pengembangan kemampuan dan kemauan
belajar di kalangan murid. Tipe guru demikian
dikategorikan oleh Hargreaves
sebagai “guru romantik” (romantic).
Latihan
Setelah selesai mempelajari uraian
materi pada kegiatan belajar ini, coba Anda
kemukakan 1) tiga jenis lingkungan
pendidikan; 2) definisi pendidikan formal; 3)
tiga komponen utama sekolah sebagai
syarat untuk dapat menjalankan fungsi
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 180
minimumnya; 4) tiga contoh fungsi
pendidikan sekolah; 5) implikasi jenis pola
kegitan sosial Nomothetis terhadap
pendidikan; 6) jenis pola hubungan sosial
transaksional yang sebaiknya terjadi
dalam praktek pendidikan.
Petunjuk Jawaban Latihan
Untuk dapat menjawab tugas latihan
nomor 1) Anda perlu mengingat kembali jenisjenis
lingkungan pendidikan dalam konteks
pendidikan sepanjang hayat. Untuk dapat
menjawab tugas latihan nomor 2) Anda
perlu mengacu kepada definisi pendidikan
formal sebagaimana termaktub pada
pasal 1 ayat 11 UU RI No. 20 Tahun 2003.
Untuk dapat menjawab tugas latihan
nomor 3) Anda perlu mengacu kepada
komponen-komponen utama sekolah.
Untuk dapat mejawab latihan nomor 4) Anda
perlu mengingat kembali enam fungsi
pendidikan sekolah. Untuk menjawab latihan
nomor 5) Anda perlu mengacu kepada
konsep pola kegiatan sosial pendidikan.
Adapun untuk mejawab latihan nomor
6) Anda perlu mengacu pada konsep pola
hubungan sosial Transaksional.
Rangkuman
Pendidikan dijalani individu sepanjang
hayat yang berlangsung secara informal,
formal dan nonformal di berbagai
lingkungan pendidikan. Sehubungan dengan itu, maka
dikenal adanya tiga jenis lingkungan
pendidikan, yaitu lingkungan pendidikan informal,
lingkungan pendidikan formal dan lingkungan
pendidikan nonformal.
Pendidikan informal adalah
pendidikan yang berlangsung atau terselenggara
secara wajar (alamiah) di dalam
lingkungan hidup sehari-hari. Pendidikan informal
antara lain berlangsung di dalam
keluarga, sebab salah satu fungsi keluarga yang bersifat
universal adalah melaksanakan
pendidikan. Ada berbagai jenis keluarga, setiap jenis
keluarga tentunya akan memberikan
pengaruh yang berbeda-beda terhadap pendidikan
anak. Pendidikan informal dalam
keluarga merupakan peletak dasar pendidikan anak.
Dalam hal ini orang tua (ibu dan
ayah) adalah pengemban tanggung jawab pendidikan
anak. Tujuan pendidikan dalam
keluarga adalah agar anak menjadi pribadi yang mantap,
bermoral, dan menjadi anggota
masyarakat yang baik. Sehubungan dengan itu,
pendidikan dalam keluarga dapat
dipandang sebagai persiapan ke arah kehidupan anak
dalam masyarakatnya. Adapun isi
pendidikan dalam keluarga biasanya meliputi:
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 181
berbagai pengetahuan yang mendasar,
sikap, nilai dan norma agama, nilai dan norma
masyarakat/budaya, serta
keterampilan-keterampilan tertentu. Selain di dalam keluarga,
pendidikan informal dapat pula
berlangsung di dalam masyarakat. Pendidikan informal di
dalam masyarakat antara lain dapat
berlangsung melalui adat kebiasaan, pergaulan anak
sebaya, upacara adat, pergaulan di
lingkungan kerja, permainan, pagelaran kesenian, dan
bahkan melalui percakapan biasa
dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan formal adalah jalur
pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang
terdiri atas pendidikan dasar,
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Sekolah
adalah salah satu pranata sosial
yang memiliki tugas khusus untuk menyelenggarakan
pendidikan. Sekolah memiliki
struktur tertentu yang didukung oleh berbagai unsur atau
komponen. Tiga komponen utama
sekolah yang menjadi syarat agar sekolah dapat
melaksanakan fungsi minimumnya,
yaitu: 1) peserta didik, 2) guru, dan kurikulum.
Namun demikian dewasa ini idealnya
struktur sekolah memerlukan dukungan berbagai
komponen, tidak hanya didukung oleh
tiga komponen tersebut. Sekolah dikenal pula
sebagai lembaga pendidikan formal
yang memiliki karakteristik tertentu. Adapun fungsi
pendidikan sekolah antara lain: (1)
Fungsi transmisi kebudayaan masyarakat.; (2) Fungsi
sosialisasi; (3) Fungsi integrasi
sosial; (4) Fungsi Mengembangkan kepribadian
individu/anak; (5) Fungsi
mempersiapkan anak untuk suatu pekerjaan; (6) Fungsi
inovasi/men-transformasi masyarakat
dan kebudayaan. Sejumlah ahli sosiologi
mempelajari perbedaan antara sosialisasi
di sekolah dengan di keluarga. Robert Dreeben
(1968) misalnya, ia mengemukakan
empat perbedaan aturan yang dipelajari anak di
keluarga dan di sekolah, yaitu
independence, achievement, universalism, and specifity.
Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan
pendidikan di luar pendidikan
formal yang dapat dilaksanakan
secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan nonformal
berfungsi mengembangkan potensi
peserta didik dengan penekanan pada penguasaan
pengetahuan dan keterampilan
fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian
professional. Dalam hubungannya
dengan pendidikan formal, pendidikan nonformal
diselenggarakan bagi warga
masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang
berfungsi sebagai pengganti,
penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam
rangka mendukung pendidikan
sepanjang hayat. Satuan pendidikan nonformal terdiri
atas lembaga kursus, pelatihan,
kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat,
dan majelis taklim, serta satuan
pendidikan yang sejenis. Hasil pendidikan nonformal
dapat dihargai setara dengan hasil
program pendidikan formal setelah melalui proses
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 182
penilaian penyetaraan oleh lembaga
yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah
Daerah dengan mengacu pada standar
nasional pendidikan.
Pola Kegiatan Sosial Pendidikan.
Apabila kegiatan sosial pendidikan
dianalisis berdasarkan kecenderungan
orientasinya terhadap fungsi dimensi-dimensi
tingkah laku individu, maka dapat
diidentifikasi adanya tiga pola kegiatan sosial
pendidikan, yaitu: (1) Pola
Nomothetis, (2) Pola Ideografis, dan (3) Pola Transaksional.
Pendidikan berdasarkan pola
nomothetis mempunyai pengertian sebagai sosialisasi
kepribadian (socialization of
personality). Pendidikan dipandang sebagai upaya
pewarisan nilai-nilai sosial kepada
generasi muda. Hal ini menimbulkan sosilogisme
dalam pendidikan. Pendidikan
dipandsang sebagai proses sosialisasi. Jaeger (1977)
membedakan pola kegiatan sosialisasi
(pendidikan) menjadi dua pola ekstrim, yaitu (1)
pola sosialisasi dengan cara represi
(repressive socialization), dan (2) pola sosialisasi
partisipasi (participatory
socialization).
Kebalikan dari Pola Nomothetis
adalah Pola Ideografis. Karena itu Pendidikan
berdasarkan pola kegiatan sosial
ideografis mempunyai pengertian sebagai personalisasi
peranan (personalization of roles),
yaitu upaya membantu seseorang untuk mengetahui
dan mengembangkan tentang apa yang
ingin diketahui atau yang ingin
dikembangkannya. Hal ini menimbulkan
psikologisme atau developmentalisme dalam
pendidikan.
Kegiatan sosial pendidikan Pola
Transaksional mengutamakan keseimbangan
berfungsinya dimensi tingkah laku
nomothetis dan dimensi tingkah laku ideografis.
Sebab itu pendidikan berdasarkan
pola ini dipahami sebagai suatu sistem sosial yang
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. setiap individu mengenal tujuan-tujua sistem, dan
tujuan-tujuan itu juga merupakan
bagian dari kebutuhan pribadinya; b. setiap individu
percaya bahwa harapan-harapan sosial
yang dikenakan kepada dirinya adalah rasional
apabila harapan-harapan tersebuit
dapat dicapai; c. Setiap individu merasa bahwa ia
termasuk suatu kelompok dengan
suasana emosional yang sama.
Dalam kegiatan sosial pendidikan
pola Transaksional memungkinkan munculnya
empat jenis pola dasar hubungan
transaksional. Keempat jenis pola dasar hubungan
transaksional yang dimaksud adalah:
(1) I’am not O.K. - You’re O.K. (2) I’am O.K. –
You’re not O.K. (3) I’am not O.K. –
You’re O.K. (4) I’am O.K. – You’re O.K.
Dalam kegiatan pendidikan, jenis
pola kegiatan sosial pendidikan yang
diharapkan terjadi adalah jenis pola
Transaksional. Adapun dalam kegiatan sosial
pendidikan pola Transaksional
tersebut diharapkan tercipta pola dasar hubungan
transaksional jenis yang keempat,
yaitu: “I’am O.K. – You’re O.K.”, artinya bahwa guru
mau melaksanakan pendidikan dan
siswa pun mau melaksanakan pendidikan.
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 183
Pola Sikap Guru terhadap Siswa.
Menurut David Hargreaves (Sudarja
Adiwikarta, 1988) ada tiga
kemungkinan pola sikap guru terhadap muridnya serta
implikasinya terhadap fungsi dan
tipe/kategori guru. Pola Pertama: Guru berasumsi
bahwa para muridnya belum menguasai
kebudayaan, sedangkan pendidikan diartikan
sebagai enkulturasi (pembudayaan).
Implikasinya maka tugas dan fungsi guru adalah
menggiring murid-muridnya untuk
mempelajari hal-hal yang dipilihkan oleh guru dengan
pertimbangan itulah yang terbaik
bagi mereka. Tipe guru dalam kategori ini dinamakan
Hargreaves sebagai penjinak atau
penggembala singa (“lion tamer”). Pola Kedua: Guru
berasumsi bahwa para muridnya
mempunyai dorongan untuk belajar yang harus
meghadapi materi pengajaran yang
baru baginya, cukup berat dan kurang menarik.
Implikasinya maka tugas guru adalah
membuat pengajaran menjadi menyenangkan,
menarik dan mudah bagi para
muridnya. Tipe guru demikian dikategorikan sebagai
penghibur atau “entertainer”. Pola
Ketiga: Guru berasumsi bahwa para muridnya
mempunyai dorongan untuk belajar,
ditambah dengan harapan bahwa murid harus
mampu menggali sendiri sumber
belajar, dan harus mampu mengimbangi dan berperan
dalam kehidupan masyarakat yang
terus menerus berubah, bahkan dengan kecepatan
yang semakin meningkat. Implikasinya
guru harus memberikan kebebasan yang cukup
luas kepada murid. Baik secara
individual maupun kelompok kecil, guru dan murid
bersama-sama menyusun program
kurikuler. Hubungan guru-murid didasari
kepercayaan, dan arah
belajar-mengajar adalah pengembangan kemampuan dan kemauan
belajar di kalangan murid. Tipe guru
demikian dikategorikan oleh Hargreaves sebagai
“guru romantik” (romantic).
Tes Formatif 3
Jawablah semua soal di bawah ini
dengan secara singkat dan benar !
1. Apa yang dimaksud pendidikan
formal ?
2. Pengalaman pendidikan anak sejak
kecil di dalam keluarga akan membangun pola
hidupnya di kemudian hari. Apakah
asumsi dari pernyataan ini ?
3. Kemukakan tiga komponen utama
sekolah yang menjadi syarat agar dapat
melaksanakan fungsi minimumnya !
4. Setara dengan hasil pendidikan
pada lembaga apakah hasil belajar pada Kelompok
Belajar Paket A melalui jalur pendidikan
nonformal ?
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 184
5. Di SD para siswa diajari Bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional dalam rangka
mempererat persatuan dan kesatuan
bangsa. Menyimak pernyataan itu, Fungsi apakah
yang dilaksanakan SD tersebut?
6. Kemukakan dua contoh lembaga
pendidikan nonformal !
7. Berbeda dengan sosialisasi di
dalam keluarga, di SD anak-anak memperoleh
perlakuan yang relatif sama. Menurut
Robert Dreeben hal ini tergolong aturan yang
berkenaan dengan ….
8. Kemukakan ciri kegiatan sosial
pendidikan Nomothetis !
9. Dalam praktek pendidikan, jenis
pola hubungan transaksional seperti apakah yang
diharapkan terjadi ?
10. Apakah fungsi guru yang dijuluki
sebagai “lion tamer” ?
Tindak Lanjut
Cocokan jawaban Anda dengan kunci jawaban
Tes Formatif 3 yang terdapat pada
bagian akhir BBM ini. Hitung berapa
jawaban Anda yang benar, kemudian gunakan
rumus di bawah ini untuk mengetahui
tingkat penguasaan Anda mengenai materi
Kegiatan Belajar ini.
Rumus :
Jumlah jawaban benar
Tingkat Penguasaan = X 100 %
10
Kriteria Tingkat Penguasaan:
90 % - 100 % = Baik Sekali.
80 % - 89 % = Baik.
70 % - 79 % = Cukup.
< 69 % = Kurang.
Apabila Anda mencapai tingkat
penguasaan 80% ke atas, silahkan Anda teruskan untuk
mempelajari BBM 5 . Bagus ! Akan tetapi
apabila tingkat penguasaan Anda masih di
bawah 80%, maka Anda harus
mengulangi Kegiatan Belajar ini, terutama bagian-bagian
yang belum Anda kuasai.
Kunci Jawaban
Tes Formatif 1:
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 185
1. Melalui upaya belajar.
2. Karakeristiknya adalah memiliki
perbedaan, unik, dan otonom dalam mengambil
keputusan.
3. Masyarakat adalah sekelompok
individu yang hidup bersama dan berinteraksi
sosial dalam waktu cukup lama serta
menghasilkan kebudayaan.
4. Tujuannya agar tercipta
homogenitas/konformitas.
5. Status adalah suatu kedudukan
yang berisi sekumpulan hak dan kewajiban.
6. Enkulturasi.
7. Tindakan sosial adalah perilaku
individu yang dilakukan dengan
mempertimbangkan dan berorientasi
kepada perilaku orang lain dalam rangka
mencapai tujuan tertentu.
8. Penyimpangan sosial adalah
perilaku individu yang tidak sesuai dengan nilai,
norma dan harapan masyarakatnya.
9. Sosialisi adalah suatu proses di
mana anak belajar berbagai peranan agar menjadi
anggota yang berpartisipasi dalam
masyarakatnya.
10. Agar tersipta
konformitas/homogenitas; untuk mempertahankan keberadaan
masyarakat; dan untuk mempertahankan
kelangsungan kebudayaan.
Tes Formatif 2 :
1. Pranata sosial adalah perilaku
terpola yang digunakan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dasarnya.
2. Pranata pendidikan adalah salah
satu pranata sosial yang melakukan sosialisasi
dan/atau enkulturasi untuk
mengantarkan generasi muda ke dalam kehidupan
bermasyarakat dan berbudaya.
3. Terdapat hubungan saling
mempengaruhi antara perkembangan pendidikan dan
perkembangan ekonomi.
4. Dalam kaitannya dengan ekonomi
pendidikan berfungsi untuk mempersiapkan
generasi muda agar dapat mengisi
lapangan kerja produktif di masyarakat.
5. Pendidikan berfungsi menyiapkan
ahli dalam berbagai bidang kehidupan
masyarakat.
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 186
6. Stratifikasi sosial adalah
pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang
dimilikinya.
7. Pendidikan.
8. Asumsinya adalah ”terdapat
hubungan antara pendidikan dengan mobilitas
sosial”.
9. Pendidikan dipandang sebagai
proses yang digunakan masyarakat untuk
mengendalikan dan membentuk
individu-individu sesuai dengan tujuan-tujuan
yang ditentukan oleh nilia-nilai
dasar kebudayaan.
10. Fungsi konservasi dan fungsi
inovasi.
Tes Formatif 3 :
1. Pendidikan formal adalah jalur
pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang
terdiri atas pendidikan dasar,
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
2. Asumsinya bahwa keluarga
dipandang sebagai peletak dasar pendidikan bagi
anak.
3. Tiga komponen utama sekolah
adalah Guru, peserta didik, dan kurikulum.
4. Setara dengan hasil pendidikan di
Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah.
5. Fungsi integrasi sosial.
6. Kursus, Pusat Keguatan Belajar
Masyarakat, dll.
7. Universalism.
8. Cirinya adalah mengutamakan
kebutuhan dan harapan masyarakat.
9. Pola hubungan: I’am O.K. – You’re
O.K.
10. Guru berfungsi menggiring siswa
untuk mempelajari isi kebudayaan sesuai
dengan pilihan guru, ini dilakukan
dengan asumsi bahwa isi kebudayaan itulah
yang terbaik bagi siswa.
Glosarium
· Enkulturasi, adalah suatu proses
dimana individu belajar cara berpikir, cara
bertindak, dan merasa yang
mencerminkan kebudayaan masyarakatnya. Menurut M.
J. Herkovits adalah proses perolehan
kompetensi budaya untuk hidup sebagai
anggota kelompok.
Landasan Sos-antrop Pend.
Tatang Sy File 2010 187
· Fungsi Selektif, yaitu salah satu
fungsi pendidikan (sekolah) dalam rangka
menempatkan peserta didik sesuai
dengan bakat dan kemampuannya, yang akan turut
menentukan kedudukan peserta didik
di dalam tangga sosialnya di kemuadian hari.
· Homogenitas, yaitu adanya kesamaan
dalam nilai, harapan, norma dan perilaku
individu-individu di dalam
masyarakatnya.
· Konformitas, yaitu bentuk
interaksi yang di dalamnya setiap individu berperilaku
terhadap individu lainnya sesuai
dengan yang diharapkan kelompok atau masyarakat,
· Mobilitas Sosial, perpindahan
orang dari status/kelas/golongan sosial yang satu ke
status/kelas/golongan yang lain.
Perpindahan tersebut mungkin naik atau mungkin
pula turun.
· Mobilitas Vertikal, mobilitas ke
atas (naik) atau ke bawah (turun) dalam stratifikasi
sosial.
· Pendekatan Obyektif, pendekatan
dalam studi tentang stratifikasi sosial yang
menggunakan ukuran obyektif berupa
variabel yang mudah diukur secara statistik
seperti pendidikan, pekerjaan dan
penghasilan.
· Pendekatan subyektif, pendekatan
dalam studi tentang stratifikasi sosial yang
melihat kelas sebagai suatu kategri
social, sehingga ditandai oleh kesadaran jenis.
· Pendekatan reputasi, pendekatan
dalam studi stratifikasi sosial di mana para subjek
penelitian diminta menilai status
orang lain dengan jalan menempatkan orang lain
tersebut pada suatu skala tertentu.
· Stratifikasi Sosial, pembedaan
anggota masyarakat berdasarkan status/kelas/goongan
yang diduduki atau dimilikinya.
· Sosialisasi, adalah suatu proses
dimana anak belajar menjadi seorang anggota yang
berpartisipasi dalam masyarakat
(Petter L. Berger); sosialisasi menunjukkan proses
pengintegrasian individu ke dalam
sebuah kelompok sosial (M.J. Herkovits)






0 comments:
Post a Comment