Saturday, 23 November 2013

ANTROPOLOGI DAN PENDIDIKAN


ANTROPOLOGI DAN PENDIDIKAN

A.      Pengertian Antropologi
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang budaya  masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa.
Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti  sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Antropologi berasal dari kata Yunani άνθρωπος (baca: anthropos) yang berarti "manusia" atau "orang", dan logos yang berarti "wacana" (dalam pengertian "bernalar", "berakal"). Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.
Pengertian menurut beberapa ahli sebagai berikut
1.      David Hunter
Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia
2.      Koentjaraningrat 
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat  serta kebudayaan  yang dihasilkan
3.      William A. Havilland 
Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
Dari definisi-definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana Antropologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari tentang segala aspek dari manusia, yang terdiri dari aspek fisik dan nonfisik berupa warna kulit, bentuk rambut, bentuk mata, kebudayaan, aspek politik, dan berbagai pengetahuan tentang corak kehidupan lainnya yang bermanfaat.
Antropologi memiliki dua sisi holistik dimana meneliti manusia pada tiap waktu dan tiap dimensi kemanusiaannya. Arus utama inilah yang secara tradisional memisahkan Antropologi dari disiplin ilmu kemanusiaan lainnya yang menekankan pada perbandingan/perbedaan budaya antar manusia
Secara garis besar antropologi memiliki cabang-cabang ilmu yang terdiri dari:
a.       Antropologi Fisik
1.      Paleoantropologi adalah ilmu yang mempelajari asal usul manusia dan evolusi manusia dengan meneliti fosil-fosil.
2.      Somatologi adalah ilmu yang mempelajari keberagaman ras manusia dengan mengamati ciri-ciri fisik.
b.      Antropologi Sosial dan Budaya
1.      Prehistori adalah ilmu yang mempelajari sejarah penyebaran dan perkembangan semua kebudayaan manusia di bumi sebelum manusia mengenal tulisan.
2.      Etnolinguistik antropologi adalah ilmu yang mempelajari pelukisan tentang ciri dan tata bahasa dan beratus-ratus bahasa suku-suku bangsa yang ada di dunia / bumi.
3.      Etnologi adalah ilmu yang mempelajari asas kebudayaan manusia di dalam kehidupan masyarakat suku bangsa di seluruh dunia.
4.      Etnopsikologi adalah ilmu yang mempelajari kepribadian bangsa serta peranan individu pada bangsa dalam proses perubahan adat istiadat dan nilai universal dengan berpegang pada konsep psikologi.

Antropologi sebagai sebuah ilmu juga mengalami tahapan-tahapan dalam perkembangannya. Koentjaraninggrat menyusun perkembangan ilmu Antropologi menjadi empat fase sebagai berikut:

Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an)
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/3/31/Initiation_ritual_of_boys_in_Malawi.jpg/272px-Initiation_ritual_of_boys_in_Malawi.jpg
Manusia dan kebudayaannya, sebagai bahan kajian Antropologi. Sekitar abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari AfrikaAmerikaAsia, hingga keAustralia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnografi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa.
Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.

Fase Kedua (tahun 1800-an)

Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya
Pada fase ini, Antopologi bertujuan akademis, mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.

Fase Ketiga (awal abad ke-20)

Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya, pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.

Fase Keempat (setelah tahun 1930-an)
Pada fase ini, Antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa. Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung.

Namun pada saat itu juga, muncul semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun. Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.


B.       Pendekatan dalam Antropologi
Studi kebudayaan adalh sentral dalam antropologi. Bidang kajian utama antropologi adalah kebudayaan dan dipelajari melalui pendekatan. Berikut 3 macam pendekat utama yang biasa dipergunakan oleh para ilmuwan antropologi.
a.       Pendekatan holistic :
Kebudayaan dipandang secara utuh (holistik). Pendekatan ini digunakan oleh para pakar antropologi apabila mereka sedang mempelajari kebudayaan suatu masyarakat. Kebudayaan di pandang sebagai suatu keutuhan, setiap unsur di dalamnya mungkin dipahami dalam keadaan terpisah dari keutuhan tersebut. Para pakar antropologi mengumpulkan semua aspek, termasuk sejarah, geografi, ekonomi, teknologi, dan bahasa. Untuk memperoleh generalisasi (simpulan) tentang suatu kompleks kebudayaan seperti perkawinan dalam suatu masyarakat, para pakar antropologi merasa bahwa mereka harus memahami dengan baik semua lembaga (institusi) lain dalam masyarakat yang bersangkutan.
b.      Pendekatan komparatif :
Kebudayaan masyarakat pra-aksara. Pendekatan komparatif juga merupakan pendekatan yang unik dalam antropologi untuk mempelajari kebudayaan masyarakat yang belum mengenal baca-tulis (pra-aksara). Para ilmuwan antropologi paling sering mempelajari masyarakat pra-aksara karena 2 alasan utama. Pertama, mereka yakin bahwa setiap generalisasi dan teori harus diuji pada populasi-populasi di sebanyak mungkin daerah kebudayaan sebelum dapat diverifikasi. Kedua, mereka lebih mudah mempelajari keseluruhan kebudayaan masyarakat-masyarakat kecil yang relatif homogen dari pada masyarakat-masyarakat modern yang kompleks. Masyarakat-masyarakat pra-aksara yang hidup di daerah-daerah terpencil merupakan laboratorium bagi para ilmuwan antropologi.
c.       Pendekatan historic
Pengutamaan asal-usul unsur kebudayaan. Pendekatan dan unsur-unsur historik mempunyai arti yang sangat penting dalam antropologi, lebih penting dari pada ilmu lain dalam kelompok ilmu tingkah laku manusia. Para ilmuwan antropologi tertarik pertama-tama pada asal-usul historik dari unsur-unsur kebudayaan, dan setelah itu tertarik pada unsur-unsur kebudayaan yang unik dan khusus.
C.       Kebudayaan
Pengertian Kebudayaan banyak sekali dikemukakan oleh para ahli. Salah satunya dikemukakan oleh selo soemardjan dan soelaiman soemardi, yang merumuskan bahwa kebudayaan adalah semua hasil dari karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan, yang diperlukan manusia untuk mengusai alam skitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan untuk kepentingan masyarakat.
Rasa yang meliputi jiwa manusia mewujudkan segala norma dan nilai masyarakat yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti luas, didalamnya termasuk, agama, ideology, kebatinan, kesenian, dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi dari jiwa manusia. Selanjutnya cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan fikir dari orang lain yang hidup bermasyarakat yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Rasa dan cipta dinamakan kebudayaan Rohaniah. Semua karya, rasa, dan cipta dikuasai oleh karsa dari orang-orang yang menentukan kegunaannya, agar sesuai dengan kepentingan sebagian besar, bahkan seluruh masyarakat.
Dari pengertian tersebut menunjukan bahwa kebudayaan itu merupakan keseluruhan dari pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial, yang digunakan untuk menginterpretasikan dan memahami lingkungan yang di hadapi, untuk memenuhi segala kebutuhannya serta mendorong terwujudnya kelakuan manusia itu sendiri. Atas dasar itulah para ahli mengemukakan unsur kebudayaan yang diperinci menjadi 7 unsur, yaitu:
a.       Unsur Religi
b.       Sistem kemasyarakatan
c.       Sistem peralatan
d.      Sistem mata pencaharian hidup
e.       Sistem Bahasa
f.       Sistem Pengetahuan
g.      Seni

D.      Antroplogi dan Pendidikan
Salah satu konsep yang  kaji dalam tersebut yaitu hakikat manusia sebagai individu. Sebagaimana telah pelajari bahwa individu adalah manusia perseorangan yang memiliki karakteristik sebagai kesatuan yang tak dapat dibagi, memiliki perbedaan dengan yang lainnya sehingga bersifat unik, serta bebas mengambil keputusan atau tindakan atas pilihan dan tanggung jawabnya sendiri (otonom). Masyarakat didefinisikan oleh Ralph Linton sebagai "setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas". Sejalan dengan definsi dari Ralph Linton, Selo Sumardjan mendefinisikan masyarakat sebagai “orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan” (Soerjono Soekanto, 1986). Mengacu kepada dua definisi tentang masyarakat seperti dikemukakan di atas, Anda dapat mengidentifikasi empat unsur yang mesti terdapat di dalam masyarakat, yaitu:
a.       Manusia (individu-individu) yang hidup bersama,
b.      Mereka melakukan interaksi sosial dalam waktu yang cukup lama.
c.       Mereka mempunyai kesadaran sebagai satu kesatuan.
d.      Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan,sehingga setiap individu di dalamnya merasa terikat satu dengan yang lainnya.
Dalam hidup bermasyarakat manusia menghasilkan kebudayaan. Kebudayaan adalah "keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar" (Koentjaraningrat, 1985). Ada tiga jenis wujud kebudayaan, ketiga wujud kebudayaan tersebut adalah:
v  Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dsb.
v  Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
v  Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
v  Terdapat hubungan dan saling mempengaruhi antara individu, masyarakat dan  kebudayaannya.
Individu, masayarakat dan kebudayaannya tak dapat dipisahkan. Hal ini sebagaimana Anda maklumi bahwa setiap individu hidup bermasyarakat dan berbudaya, adapun masyarakat itu sendiri terbentuk dari individu-individu. Masyarakat dan kebudayaan mempengaruhi individu, sebaliknya masyarakat dan kebudayaan dipengaruhi pula oleh individu-individu yang membangunnya.
Untuk mencapau tujuan-tujuannya, atau dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, setiap individu maupun kelompok melakukan interaksi sosial. Dalam interaksi sosial tersebut mereka melakukan berbagai tindakan sosial, yaitu perilaku individu yang dilakukan dengan mempertimbangkan dan berorientasi kepada perilaku orang lain untuk mencapai tujuan tertentu. Tindakan sosial yang dilakukan individu hendaknya sesuai dengan status dan peranannya, dan diharapkan sesuai pula dengan kebudayaan masyarakatnya. Masyarakat menuntut hal tersebut tiada lain agar tercipta konformitas dan homogenitas. Konformitas yaitu bentuk interaksi yang di dalamnya setiap individu berperilaku terhadap individu lainnya sesuai dengan yang diharapkan kelompok atau masyarakat, sedangkan homogenitas yaitu adanya kesamaan dalam nilai, harapan, norma dan perilaku individu-individu di dalam masyarakatnya. Dalam konteks interaksi sosial, apabila tindakan-tindakan sosial yang dilakukan individu tidak sesuai dengan sistem nilai dan norma atau kebudayaan masyarakatnya, maka individu yang bersangkutan akan dipandang melakukan penyimpangan tingkah laku atau penyimpangan social (deviant behavior atau social deviant). Terhadap pelaku penyimpangan tingkah laku atau penyimpangan sosial tersebut masyarakat akan mengucilkannya, bahkan melakukan pengendalian sosial (social control), yaitu apa yang didefinisikan Peter L. Berger sebagai "berbagai cara yang digunakan masyarakat untuk menertibkan anggotanya yang membangkang" (Kamanto Sunarto, 1993).
Dari interaksi antar individu yang saling membutuhkan akan menimbulkan pranata sosial. Pendidikan sebagai Pranata Sosial menurut Theodorson pranata sosial (social institution) adalah suatu sistem peran dan norma sosial yang saling berhubungan dan terorganisasi disekitar pemenuhan kebutuhan atau fungsi sosial yang penting (Sudarja Adiwikarta,1988). Komblum menggunakan istilah institusi untuk menjelaskan pranata sosial, ia mendefinisikannya sebagai "suatu struktur status dan peranan yang diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar anggota masyarakat" (Kamanto Sunarto, 1993).
Redaksi berbagai definisi pranata sebagaimana disajikan di atas memang berbeda-beda, namun demikian pada dasarnya mengandung pengertian yang relatif sama. Esensinya dapat Anda pahami bahwa pranata sosial merupakan suatu sistem aktivitas yang khas dari suatu kelakuan berpola; aktivitas yang khas ini dilakukan oleh berbagai individu atau manusia yang mempunyai status dan peran masing-masing yangsaling berhubungan atau mempunyai struktur; mengacu kepada sistem ide, nilai dan norma atau tata kelakuan tertentu; dilakukan dengan menggunakan berbagai peralatan;dan aktifitas khas ini berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dasar anggota masyarakat.
Pendek kata, pranata sosial adalah perilaku terpola yang digunakan oleh suatu masyarakat untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasarnya.
Terdapat berbagai pranata sosial, antara lain: pranata ekonomi, pranata politik, pranata agama, pranata pendidikan, dsb. Pranata pendidikan. Pranata pendidikan adalah salah satu pranata sosial dalam rangka proses sosialisasi dan/atau enkulturasi untuk mengantarkan individu ke dalam kehidupan bermasyarakat dan berbudaya, serta untuk menjaga kelangsungan eksistensi masyarakat dan kebudayaannya. Melalui pranata pendidikan sosialisasi dan/atau enkulturasi diselenggarakan oleh masyarakat, sehingga dengan demikian eksistensi masyarakat dan kebudayaanya dapat bertahan sekalipun individu-individu anggota masyarakatnya berganti karena terjadinya kelahiran, kematian, dan/atau perpindahan. Sebagai pranata sosial, pranata pendidikan berada di dalam masyarakat dan bersifat terbuka. Sebab itu, pranata pendidikan mengambil masukan (input) dari masyarakat dan memberikan keluarannya (out put) kepada masyarakat. Contoh: Para pendidik dan peserta didik dalam suatu pranata pendidikan masukkannya berasal dari penduduk masyarakat itu sendiri; Tujuan pendidikan dirumuskan berdasarkan masukan dari sistem nilai, harapan dan cita-cita masyarakat yang bersangkutan; dsb. Sebaliknya, masyarakat menyediakan atau memberikan sumber-sumber input bagi pranata pendidikan dan menerima out put dari pranata pendidikan. Contoh: di dalam masyarakat terdapat penduduk, sistem nilai, sistem pengetahuan, dsb., hal ini merupakan sumber input yang disediakan masyarakat bagi pranata pendidikan. Tetapi masyarakat pun (misalnya suatu perusahaan) menerima lulusan dari pranata pendidikan (sekolah atau perguruan tinggi) untuk diangkat sebagai pegawai atau karyawan), dsb.
Pada dasarnya terdapat dua fungsi pokok pendidikan dalam hubungannya dengan keadaan serta harapan masyarakat dan kebudayaannya. Kedua fungsi yang dimaksud adalah:
v  Fungsi konservasi. Dalam hal ini, pranata pendidikan berfungsi untuk mentransmisikan, mewariskan atau melestarikan nilai-nilai budaya masyarakat dan/atau mempertahankan kelangsungan eksistensi masayarakat.
v  Fungsi Inovasi/kreasi/transformasi
Dalam hal ini, pranata pendidikan berfungsi untuk melakukan perubahan dan pembaharuan masyarakat beserta nilai-nilai budayanya.
Kedua fungsi pendidikan sebagaimana dikemukakan di atas, yaitu fungsi konservasi dan fungsi inovasi pendidikan bagi masyarakat dan kebudayaannya dapat kita pahami dan riil terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana Anda maklumi, di dalam masyarakat terdapat nilai-nilai, pengetahuan, dan kelakuan-kelakuan berpola yang masih relevan dan dipandang baik yang harus tetap dilestarikan. Sebaliknya, terdapat pula nilai-nilai, pengetahuan dan kelakuan berpola yang sudah dipandang tidak relevan lagi dan tidak bernilai yang perlu diubah atau diperbaharui. Adapun untuk melestarikan dan melakukan  pembaharuan atau perubahan tersebut masyarakat perlu melakukannya melalui pendidikan, atau melalui apa yang di dalam antropologi disebut enkulturasi.
http://file.upi.edu/Direktori/DUAL-MODES/LANDASAN_PENDIDIKAN/BBM_4.pdf






E.        

0 comments:

Post a Comment