ANTROPOLOGI DAN PENDIDIKAN
A.
Pengertian
Antropologi
Antropologi adalah
salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan
orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari
apa yang dikenal di Eropa.
Antropologi lebih
memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti
kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip
seperti sosiologi tetapi pada
sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Antropologi berasal
dari kata Yunani άνθρωπος (baca: anthropos) yang berarti "manusia" atau "orang", dan logos yang berarti
"wacana" (dalam pengertian "bernalar", "berakal").
Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.
Pengertian menurut
beberapa ahli sebagai berikut
1. David Hunter
Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan
yang tidak terbatas tentang umat manusia
2. Koentjaraningrat
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia
pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan
3. William A. Havilland
Antropologi adalah studi tentang umat manusia,
berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya
serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
Dari definisi-definisi
tersebut, dapat disusun pengertian sederhana Antropologi, yaitu sebuah ilmu
yang mempelajari tentang segala aspek dari manusia, yang terdiri dari aspek
fisik dan nonfisik berupa warna kulit, bentuk rambut, bentuk mata, kebudayaan,
aspek politik, dan berbagai pengetahuan tentang corak kehidupan lainnya yang
bermanfaat.
Antropologi memiliki
dua sisi holistik dimana meneliti manusia pada tiap waktu dan tiap dimensi
kemanusiaannya. Arus utama inilah yang secara tradisional memisahkan Antropologi
dari disiplin ilmu kemanusiaan lainnya yang menekankan pada
perbandingan/perbedaan budaya antar manusia
Secara garis besar
antropologi memiliki cabang-cabang ilmu yang terdiri dari:
a. Antropologi Fisik
1. Paleoantropologi adalah ilmu yang mempelajari asal usul manusia dan evolusi
manusia dengan meneliti fosil-fosil.
2. Somatologi adalah ilmu yang mempelajari keberagaman ras manusia dengan
mengamati ciri-ciri fisik.
b. Antropologi Sosial dan Budaya
1. Prehistori adalah ilmu yang mempelajari sejarah penyebaran dan perkembangan
semua kebudayaan manusia di bumi sebelum manusia mengenal tulisan.
2. Etnolinguistik antropologi adalah ilmu yang mempelajari pelukisan tentang
ciri dan tata bahasa dan beratus-ratus bahasa suku-suku bangsa yang ada di
dunia / bumi.
3. Etnologi adalah ilmu yang mempelajari asas kebudayaan manusia di dalam
kehidupan masyarakat suku bangsa di seluruh dunia.
4. Etnopsikologi adalah ilmu yang mempelajari kepribadian bangsa serta peranan
individu pada bangsa dalam proses perubahan adat istiadat dan nilai universal
dengan berpegang pada konsep psikologi.
Antropologi sebagai sebuah ilmu juga mengalami
tahapan-tahapan dalam perkembangannya. Koentjaraninggrat menyusun perkembangan
ilmu Antropologi menjadi empat fase sebagai berikut:
Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an)
Manusia dan kebudayaannya, sebagai bahan kajian
Antropologi. Sekitar abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga keAustralia. Dalam penjelajahannya
mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka
kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat
segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari
ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi
suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnografi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa.
Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar
di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap
bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat
besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan
bahan etnografi.
Fase Kedua (tahun 1800-an)
Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah
disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara
perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap
bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi
kebudayaannya
Pada fase ini, Antopologi bertujuan akademis, mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk
memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan
manusia.
Fase Ketiga (awal abad ke-20)
Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba
membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam
rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti
serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok
bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya,
pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli
untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan
etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan
kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.
Fase Keempat (setelah tahun 1930-an)
Pada fase ini, Antropologi berkembang secara pesat.
Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa, mulai hilang
akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa. Pada masa ini pula terjadi sebuah
perang besar di Eropa, Perang Dunia
II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa
sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu
menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak
berujung.
Namun pada saat itu juga, muncul semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu
penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak
masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah
menjajah mereka selama bertahun-tahun. Proses-proses perubahan tersebut
menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk
pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman
Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.
B.
Pendekatan dalam Antropologi
Studi kebudayaan adalh sentral dalam
antropologi. Bidang kajian utama antropologi adalah kebudayaan dan dipelajari
melalui pendekatan. Berikut 3 macam pendekat utama yang biasa dipergunakan oleh
para ilmuwan antropologi.
a. Pendekatan holistic :
Kebudayaan dipandang secara utuh
(holistik). Pendekatan ini digunakan oleh para pakar antropologi apabila mereka
sedang mempelajari kebudayaan suatu masyarakat. Kebudayaan di pandang sebagai
suatu keutuhan, setiap unsur di dalamnya mungkin dipahami dalam keadaan
terpisah dari keutuhan tersebut. Para pakar antropologi mengumpulkan semua aspek,
termasuk sejarah, geografi, ekonomi, teknologi, dan bahasa. Untuk memperoleh
generalisasi (simpulan) tentang suatu kompleks kebudayaan seperti perkawinan
dalam suatu masyarakat, para pakar antropologi merasa bahwa mereka harus
memahami dengan baik semua lembaga (institusi) lain dalam masyarakat yang
bersangkutan.
b. Pendekatan komparatif :
Kebudayaan masyarakat pra-aksara.
Pendekatan komparatif juga merupakan pendekatan yang unik dalam antropologi
untuk mempelajari kebudayaan masyarakat yang belum mengenal baca-tulis
(pra-aksara). Para ilmuwan antropologi paling sering mempelajari masyarakat
pra-aksara karena 2 alasan utama. Pertama, mereka yakin bahwa setiap
generalisasi dan teori harus diuji pada populasi-populasi di sebanyak mungkin
daerah kebudayaan sebelum dapat diverifikasi. Kedua, mereka lebih mudah
mempelajari keseluruhan kebudayaan masyarakat-masyarakat kecil yang relatif
homogen dari pada masyarakat-masyarakat modern yang kompleks.
Masyarakat-masyarakat pra-aksara yang hidup di daerah-daerah terpencil
merupakan laboratorium bagi para ilmuwan antropologi.
c. Pendekatan historic
Pengutamaan asal-usul unsur kebudayaan.
Pendekatan dan unsur-unsur historik mempunyai arti yang sangat penting dalam
antropologi, lebih penting dari pada ilmu lain dalam kelompok ilmu tingkah laku
manusia. Para ilmuwan antropologi tertarik pertama-tama pada asal-usul historik
dari unsur-unsur kebudayaan, dan setelah itu tertarik pada unsur-unsur
kebudayaan yang unik dan khusus.
C.
Kebudayaan
Pengertian Kebudayaan banyak sekali dikemukakan
oleh para ahli. Salah satunya dikemukakan oleh selo soemardjan dan soelaiman
soemardi, yang merumuskan bahwa kebudayaan adalah semua hasil dari karya, rasa
dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan
kebendaan, yang diperlukan manusia untuk mengusai alam skitarnya, agar kekuatan
serta hasilnya dapat diabdikan untuk kepentingan masyarakat.
Rasa yang meliputi jiwa manusia mewujudkan
segala norma dan nilai masyarakat yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan
dalam arti luas, didalamnya termasuk, agama, ideology, kebatinan, kesenian, dan
semua unsur yang merupakan hasil ekspresi dari jiwa manusia. Selanjutnya cipta
merupakan kemampuan mental, kemampuan fikir dari orang lain yang hidup
bermasyarakat yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan.
Rasa dan cipta dinamakan kebudayaan Rohaniah. Semua karya, rasa, dan cipta
dikuasai oleh karsa dari orang-orang yang menentukan kegunaannya, agar sesuai
dengan kepentingan sebagian besar, bahkan seluruh masyarakat.
Dari pengertian tersebut menunjukan bahwa
kebudayaan itu merupakan keseluruhan dari pengetahuan manusia sebagai makhluk
sosial, yang digunakan untuk menginterpretasikan dan memahami lingkungan yang
di hadapi, untuk memenuhi segala kebutuhannya serta mendorong terwujudnya
kelakuan manusia itu sendiri. Atas dasar itulah para ahli mengemukakan unsur
kebudayaan yang diperinci menjadi 7 unsur, yaitu:
a. Unsur Religi
b. Sistem kemasyarakatan
c. Sistem peralatan
d. Sistem mata pencaharian hidup
e. Sistem Bahasa
f. Sistem Pengetahuan
g.
Seni
D.
Antroplogi
dan Pendidikan
Salah satu konsep yang kaji
dalam tersebut yaitu hakikat manusia sebagai individu. Sebagaimana telah
pelajari bahwa individu adalah manusia perseorangan yang memiliki karakteristik
sebagai kesatuan yang tak dapat dibagi, memiliki perbedaan dengan yang lainnya
sehingga bersifat unik, serta bebas mengambil keputusan atau tindakan atas
pilihan dan tanggung jawabnya sendiri (otonom). Masyarakat didefinisikan oleh
Ralph Linton sebagai "setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja
bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap
diri mereka sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan
dengan jelas". Sejalan dengan definsi dari Ralph Linton, Selo Sumardjan
mendefinisikan masyarakat sebagai “orang-orang yang hidup bersama, yang
menghasilkan kebudayaan” (Soerjono Soekanto, 1986). Mengacu kepada dua definisi
tentang masyarakat seperti dikemukakan di atas, Anda dapat mengidentifikasi
empat unsur yang mesti terdapat di dalam masyarakat, yaitu:
a.
Manusia
(individu-individu) yang hidup bersama,
b.
Mereka
melakukan interaksi sosial dalam waktu yang cukup lama.
c.
Mereka
mempunyai kesadaran sebagai satu kesatuan.
d.
Mereka
merupakan suatu sistem hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan,sehingga
setiap individu di dalamnya merasa terikat satu dengan yang lainnya.
Dalam hidup bermasyarakat manusia menghasilkan kebudayaan.
Kebudayaan adalah "keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar" (Koentjaraningrat, 1985). Ada tiga jenis wujud kebudayaan,
ketiga wujud kebudayaan tersebut adalah:
v Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide,
gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dsb.
v Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola
dari manusia dalam masyarakat.
v Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
v Terdapat hubungan dan saling mempengaruhi antara individu,
masyarakat dan kebudayaannya.
Individu, masayarakat dan kebudayaannya tak dapat dipisahkan. Hal
ini sebagaimana Anda maklumi bahwa setiap individu hidup bermasyarakat dan
berbudaya, adapun masyarakat itu sendiri terbentuk dari individu-individu.
Masyarakat dan kebudayaan mempengaruhi individu, sebaliknya masyarakat dan
kebudayaan dipengaruhi pula oleh individu-individu yang membangunnya.
Untuk mencapau tujuan-tujuannya, atau dalam rangka memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya, setiap individu maupun kelompok melakukan interaksi
sosial. Dalam interaksi sosial tersebut mereka melakukan berbagai tindakan
sosial, yaitu perilaku individu yang dilakukan dengan mempertimbangkan dan
berorientasi kepada perilaku orang lain untuk mencapai tujuan tertentu.
Tindakan sosial yang dilakukan individu hendaknya sesuai dengan status dan
peranannya, dan diharapkan sesuai pula dengan kebudayaan masyarakatnya.
Masyarakat menuntut hal tersebut tiada lain agar tercipta konformitas dan
homogenitas. Konformitas yaitu bentuk interaksi yang di dalamnya setiap
individu berperilaku terhadap individu lainnya sesuai dengan yang diharapkan
kelompok atau masyarakat, sedangkan homogenitas yaitu adanya kesamaan dalam
nilai, harapan, norma dan perilaku individu-individu di dalam masyarakatnya.
Dalam konteks interaksi sosial, apabila tindakan-tindakan sosial yang dilakukan
individu tidak sesuai dengan sistem nilai dan norma atau kebudayaan
masyarakatnya, maka individu yang bersangkutan akan dipandang melakukan
penyimpangan tingkah laku atau penyimpangan social (deviant behavior atau
social deviant). Terhadap pelaku penyimpangan tingkah laku atau penyimpangan
sosial tersebut masyarakat akan mengucilkannya, bahkan melakukan pengendalian
sosial (social control), yaitu apa yang didefinisikan Peter L. Berger sebagai
"berbagai cara yang digunakan masyarakat untuk menertibkan anggotanya yang
membangkang" (Kamanto Sunarto, 1993).
Dari interaksi antar individu yang saling membutuhkan akan
menimbulkan pranata sosial. Pendidikan sebagai Pranata Sosial menurut
Theodorson pranata sosial (social institution) adalah suatu sistem peran dan
norma sosial yang saling berhubungan dan terorganisasi disekitar pemenuhan
kebutuhan atau fungsi sosial yang penting (Sudarja Adiwikarta,1988). Komblum menggunakan
istilah institusi untuk menjelaskan pranata sosial, ia mendefinisikannya
sebagai "suatu struktur status dan peranan yang diarahkan kepada pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan dasar anggota masyarakat" (Kamanto Sunarto, 1993).
Redaksi berbagai definisi pranata sebagaimana disajikan di atas memang
berbeda-beda, namun demikian pada dasarnya mengandung pengertian yang relatif
sama. Esensinya dapat Anda pahami bahwa pranata sosial merupakan suatu sistem aktivitas
yang khas dari suatu kelakuan berpola; aktivitas yang khas ini dilakukan oleh berbagai
individu atau manusia yang mempunyai status dan peran masing-masing yangsaling
berhubungan atau mempunyai struktur; mengacu kepada sistem ide, nilai dan norma
atau tata kelakuan tertentu; dilakukan dengan menggunakan berbagai
peralatan;dan aktifitas khas ini berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dasar
anggota masyarakat.
Pendek kata, pranata sosial adalah perilaku terpola yang digunakan
oleh suatu masyarakat untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasarnya.
Terdapat berbagai pranata sosial, antara lain: pranata ekonomi,
pranata politik, pranata agama, pranata pendidikan, dsb. Pranata pendidikan.
Pranata pendidikan adalah salah satu pranata sosial dalam rangka proses
sosialisasi dan/atau enkulturasi untuk mengantarkan individu ke dalam kehidupan
bermasyarakat dan berbudaya, serta untuk menjaga kelangsungan eksistensi masyarakat
dan kebudayaannya. Melalui pranata pendidikan sosialisasi dan/atau enkulturasi
diselenggarakan oleh masyarakat, sehingga dengan demikian eksistensi masyarakat
dan kebudayaanya dapat bertahan sekalipun individu-individu anggota masyarakatnya
berganti karena terjadinya kelahiran, kematian, dan/atau perpindahan. Sebagai
pranata sosial, pranata pendidikan berada di dalam masyarakat dan bersifat
terbuka. Sebab itu, pranata pendidikan mengambil masukan (input) dari masyarakat
dan memberikan keluarannya (out put) kepada masyarakat. Contoh: Para pendidik
dan peserta didik dalam suatu pranata pendidikan masukkannya berasal dari penduduk
masyarakat itu sendiri; Tujuan pendidikan dirumuskan berdasarkan masukan dari
sistem nilai, harapan dan cita-cita masyarakat yang bersangkutan; dsb.
Sebaliknya, masyarakat menyediakan atau memberikan sumber-sumber input bagi
pranata pendidikan dan menerima out put dari pranata pendidikan. Contoh: di
dalam masyarakat terdapat penduduk, sistem nilai, sistem pengetahuan, dsb., hal
ini merupakan sumber input yang disediakan masyarakat bagi pranata pendidikan.
Tetapi masyarakat pun (misalnya suatu perusahaan) menerima lulusan dari pranata
pendidikan (sekolah atau perguruan tinggi) untuk diangkat sebagai pegawai atau
karyawan), dsb.
Pada dasarnya terdapat dua fungsi pokok pendidikan dalam
hubungannya dengan keadaan serta harapan masyarakat dan kebudayaannya. Kedua
fungsi yang dimaksud adalah:
v Fungsi konservasi. Dalam hal ini, pranata pendidikan berfungsi
untuk mentransmisikan, mewariskan atau melestarikan nilai-nilai budaya
masyarakat dan/atau mempertahankan kelangsungan eksistensi masayarakat.
v Fungsi Inovasi/kreasi/transformasi
Dalam
hal ini, pranata pendidikan berfungsi untuk melakukan perubahan dan pembaharuan
masyarakat beserta nilai-nilai budayanya.
Kedua fungsi pendidikan sebagaimana dikemukakan di atas, yaitu
fungsi konservasi dan fungsi inovasi pendidikan bagi masyarakat dan
kebudayaannya dapat kita pahami dan riil terjadi di dalam kehidupan masyarakat.
Sebagaimana Anda maklumi, di dalam masyarakat terdapat nilai-nilai,
pengetahuan, dan kelakuan-kelakuan berpola yang masih relevan dan dipandang
baik yang harus tetap dilestarikan. Sebaliknya, terdapat pula nilai-nilai,
pengetahuan dan kelakuan berpola yang sudah dipandang tidak relevan lagi dan
tidak bernilai yang perlu diubah atau diperbaharui. Adapun untuk melestarikan
dan melakukan pembaharuan atau perubahan
tersebut masyarakat perlu melakukannya melalui pendidikan, atau melalui apa
yang di dalam antropologi disebut enkulturasi.
http://file.upi.edu/Direktori/DUAL-MODES/LANDASAN_PENDIDIKAN/BBM_4.pdf
E.







0 comments:
Post a Comment